Rabu, 30 Desember 2015

2015 Untuk Aceh


Perjalanan menuju Banda Aceh
2015 menjadi tahunnya Kota Banda Aceh versiku. Di tahun ini Allah memberikan aku kesempatan untuk bisa menginjakkan kaki di kota yang dijuluki Serambi Mekkah. Dan tulisan ini salah satu wujud syukur aku karena satu per satu destinasi yang ingin aku singgahi terwujud sudah. Sebelum 2015 ini pun aku sudah bermimpi akan mengunjungi kota ini dan Alhamdulillah awal dan akhir tahun bisa menghabiskan waktu disini.

Mudah-mudahan destinasi selanjutnya, yes Nias akan dikunjungi pada tahun 2016 ya. Aamiin.

Dua kali menyambangi Banda Aceh, sangat, sangat berkesan. Di awal dan akhir tahun. Dengan suasana dan keadaan yang berbeda. Aceh benar-benar memberikan kesan tersendiri bagiku. Semoga 11 tahun pascatsunami menjadikan Aceh sebagai kota tanggap bencana dan kota role model bagi kota lain yang hendak memberlakukan hukum Syari’at.

Di awal tahun lalu mengunjungi Banda berbeda dengan kunjungan akhir tahun ini. Maret lalu, kunjungan ini pure temanya Serambi Mekkah. Mengunjungi mesjid-mesjid bersejarah. Ziarah ke makam para Waliullah. Tour guidenya pun tak tanggung-tanggung, salah seorang ulama kota Medan. Sepanjang jalan bersholawat di bus. Saling mengingatkan niat sholat Jama’ Qoshar. Berhenti untuk memperbaharui wudhu dan sholat di mesjid.

Dan aku merasa aku sedang umroh. Dalam artian berkunjung. Apalagi begitu menginjakkan kaki di Baiturrahman. Subhanallah, luar biasa. Tahajud dan shubuh disana aku anggap aku benar-benar sedang berumroh di serambinya kota Mekkah. Dan berdoa dalam waktu dekat bisa berkunjung ke Mekkah. Aamiin.

Adik bungsuku, nyokap dan aku berfoto di depan Sempati Star bus
Hihihi, tapi sedikit berbeda di akhir tahun ini. Aku pergi bersama nyokap dan adik bungsuku. Aku yakin tujuan utama kami adalah liburan wkwkwk. Dan bertetapatan adik laki-lakiku yang satu lagi kost di daerah Cadek, Banda Aceh, yup dia kuliah di Unsyiah jurusan Kedokteran Hewan. Hayooo sapa yang mau berobat, silakeun. Jadilah kami ingin mengunjunginya dan sambil minum air. Alias menyelam sambil minum aer.

Berbekal pengalaman pernah ke Banda Aceh, aku punya niatan untuk mengajak nyokap merasakan ibadah di Mesjid Raya Baiturrahman. Dan tentunya keliling Banda. Enaknya disana tempat wisata tidak pernah memungut sepeserpun uang masuk tempat wisata. Alias gratis. Mau masuk tempat wisata apapun gratis. Ya masuk aja. Kecuali om dan tante mau makan, minum, menginap, beli oleh-oleh ya bayar lah. Jadi Cuma modal ongkos aja brother. Gak seperti Medan yang apa-apa pake uang masuk. Hehehe, tapi aku tetap cinta Medan.

Begitu sampai Banda, mata mamak beranak ini pandang-pandangan. “Nanggung ya kan, udah di Banda gak nyebrang ke Sabang” keluh mamak. “Woooooo….” sorakku. “Ke Sabang lah kelen,” kata adik laki-lakiku yang kost disini. “Ya udah klo mau ke Sabang,” kataku. “Woooo….” gantian mamakku bersorak. “Yaudah besok kita ke Sabang, keliling kotanya setelah dari Sabang aja.” saranku. “Woooo, dia yang semangat kali kayaknya.” Kata mamakku.  [Ini percakapannya agak didramatisir, jangan terlalu dipercaya, yang aslinya gak gini, lebih parah!]


Pelabuhan Ulee Lheue
 Dan malam pertama di Banda kami benar-benar istirahat. Menyiapkan energi unutk keliling Pulau Weh, kota  Sabang.

Awalnya kami agak pesimis untuk bisa ke Sabang. Mengingat ini tanggal merah yang panjang, dan dengar isu orang tiket sudah habis, gak bakal bisa nyebrang. Sabang rame banget, pasti klo mau nginap udah dibooking semua. Begitulah omongan orang-orang. Jadi kami pasang tagline nya “Kalau dapat tiket syukur, kalau gak ya keliling Banda ajjah.” Kami pun pasang ancang-ancang pagi sekali harus sudah ke pelabunhan Ulee Lheue. Jadi malam itu kami tidur cepat.
Nyokap ngantri sambil narsis

Paginya pukul 7.30 kami sudah di Ulee Lheue. Kita buru-buru ke loket untuk beli tiket. Loket belum buka tapi sudah beberapa orang mengantri. Nyokap pun gak mau kalah. Saya suruh dia antri dan saya keliling pelabuhan foto-foto. Wkwkwkwk. Setelah satu jam mengantri loket baru buka. Kami pesan tiket kapal cepat 85k, waktu tempuh 45 menit.
Alhamdulillah dapat tiket

Nah, masuklah ke perjalanan yang paling berkesan untuk aku dan nyokap. Kita kedatangan Guest Star. Bintang tamu. Kalau gak ada beliau kita bingung juga mau ngapain di Sabang. Namanya Sidik. Kelahiran 92. Orangnya humble, luas pengetahuan, dan religious sekali. Siapapun di dekatnya pasti jadi sasaran percakapannya. Orangnya gak bisa diam. Lulusan STAN stambuk ’10. dan dia asli Helvetia, Medan. Sesama orang Medan, tapi jumpanya di Sabang.

Sidik ini ke Sabang sendiri. Waktu antri tiket dia tepat di belakang nyokap.  Selama mengantri terjalinlah percakapan diantara mereka. Karena dia sopan dan mau bergaul dengan emak-emak, jadilah dia ikut rombongan kami. Aku, nyokap, adik bungsuku, dan Sidik.

Begitu sampai di Sabang, kami terpisah beberapa menit. Aku, nyokap dan adik bungsu. Lalu Sidik, entah dimana. Karena biasanya kalau pergi jalan-jalan taunya cuma diboncengan, begitu nyampe tinggal menikmati pantai atau sungai yang dikunjungi. Hari itu kami stuck. Bingung. Mau ke Iboih tapi hendak naik apa? Mau ke Kilometer Nol harus nyewa kendaraan apa? Kami singgah ke warung makan untuk diskusi dan maping via google dahulu.

Sambil diskusi aku ngeliat Sidik dari kejauhan, dan daripada bingung sendiri aku lambain tangan ke arah Sidik, siapa tau bisa bantu. Sidik gabung dan akhirnya kami putuskan menyewa dua kereta untuk keliling Sabang, Pulau Weh. Sebenarnya tanpa Sidik, kami pun bisa sewa kereta dan pergi hanya bertiga. Tapi, tambah satu pria dewasa menambah kepercayaan diri untuk keliling hutan dari pada satu orang tua tambah perempuan dewasa tapi kayak anak-anak, dan satu anak laki tapi ingusan, bisa ditebak waktu jumpa gerombolan monyet di tengah hutan akan terjadi pemusnahan ekosistem monyet di Sabang.

Iboih belok kiri
Mengelilingi Sabang dengan kereta atau sepeda motor adalah hal paling baru yang kami semua rasakan. Wangi pohon, tanah yang jarang ditemui di kota membuat aaahhh indahnya, indahnya surga dunia. Pohon lebat di kanan kiri, warna hijaunya pun membuat liburan kali ini terasa sangat menggantikan hari-hari kerja kami dahulu. Sesekali landscape lautan timbul di balik-balik pepohonan. Kombinasi laut dan hutan pegunungan membuat berkali-kali tasbih terucap. Dan aku merasa senang nyokap bisa menyaksikan ini semua.

Sampai juga di Kilometer Nol
Sebelumnya, nyokap selalu melarang untuk bepergian via kereta ke luar kota. Tapi tanpa sepengatahuannya aku lakukan. dan kali ini aku tetap lakukan tanpa larangan nyokap. Kami senang sekali bisa boncengan di tengah hijaunya hutan, keloknya jalan, di Sabang pula. Rizky, adik bungsuku dibonceng Sidik.

Tujuan kami Cuma dua, Kilometer Nol dan Iboih. Kalau bisa kami pulang hari. Karena Sabang penuh banget manusia. kalau pun nginap kami gak ada persiapan untuk itu.

Senja di Cadek Permai
Aduuuuuh panjang ya,,,udah dua halaman lewat. Capek nulisnya. Walau masih banyak lagi hal berkesan yang belum diceritain. Sila cari kesannya sendiri dengan mengunjungi kota ini. Ada banyak view luar biasa yang bisa dikunjungi. Aceh ini di kanan kiri depan belakang dikelilingin laut, gunung. Yang mau merasakan keriligiusan kota ini kunjungi mesjid-mesjid bersejarah Baiturrahman, Baiturrahim dll, lalu makam para waliullah. Greget deh, bikin jasmani dan rohani kita dicharge kembali. Dapet banget liburannya. Lalu cerita si Guest Star, Sidik juga belum banyak diceritain.keliling Banda juga belum diceritain. Pendapat aku tentang oleh-oleh handmade, system transpiortasi dan lainnya lain kali lah ya…pokoknya recommended banget. Aku yakin pada penasaran. Sila googling dan buat list jalan-jalan kamu untuk 2016 ya.

Tunggu review aku lagi tentang kota ini ya. Para pembaca pada marah wkkwkwk “Cerita kok setengah-setengah…”





Senin, 21 Desember 2015

Fenomena Single

Hari ini akhirnya aku nonton Single. Aku tau Single mulai main di bioskop-bioskop itu tanggal 17 Desember. Tepatnya hari kamis minggu lalu. Kenapa gak nonton dari kemarin-kemarin? Kebetulan banget aku harus mengikuti Diklat selama dua hari Kamis-Jumat. Trus kenapa gak Sabtu nontonnya? Sabtu aku sudah dibooking untuk ambil raport adik dan kondangan. Kalau Minggu kenapa? Minggu itu jadwal Ngaji, jadi gak bisa diganggu gugat. So, aku putuskan untuk hari ini. Tapi kalau ditinjau dari ilmu iritologi, kenapa aku nonton di hari Senin, pasti lho semua udah pada tau. Ya Nomat. Begitu tau tanggal rilis Single, aku langsung ngelingkarin hari ini di kalender sebagai hari yang paling 'orang-orang hemat' pilih. Jadi varokah sekali kantong aku vroh.

Untuk menyelaraskan hari ini. Aku nonton Single sendirian aja. (seperti biasa #eh). Aku harus siap-siap diludahin orang satu gang begitu keluar rumah. Atau dilihatin, dibisikin, dan disenyumin ngejek waktu ngantri masuk studio. Karena apa? Karena orang-orang pada gandeng tangan gebetannya, dan gua cuma gandeng tas tangan.dan memang bener, sepasang alay, nengokin aku, bisik-bisik, dan senyum ngejek gitu eh ternyata jarum pentolku hampir jatuh dari cucukannya di kepala. 

Sebelum masuk studio, terjadi percakapan sengit dengan mbak resepsionis.
R          : “Silakan Mbak.”
L          : “Single, satu Mbak. (Gak pake ngenes.)”
R          : “Yang jam berapa Mbak?”
L          : “14.30 Mbak.”
R          : “Yang hijau yang kosong ya Mbak.” Si Mbak meminta aku pilih kursi.
L          : “D aja Mbak.” Sambil nunjuk kursi yang di tengah-tengah, biar gak berasa nonton sendiri.
R          : “Disini ya Mbak.” Sambil meng-klik kursi paling pinggir dekat perbatasan antara kursi bagian kanan dan kiri.
L          : “Mbak, yang disini aja.” Sambil nunjuk kursi yang di tengah-tengah.
R          : “Gak bisa Mbak. Kalau nonton sendiri pilihannya mau di pinggir sini atau sini.” Menunjuk kursi paling pinggir dekat dinding studio.
L          : “Tapi Mbak, saya mau di tengah.”
R          : “Gak bisa Mbak. Kasihan yang nonton berdua Mbak, ntar mereka terpisah.”
L          : “Loh, Mbak. Lebih kasihan mana coba sama saya yang nonton sendirian?”
           
Dan, akhirnya aku harus terima kenyataan bahwa yang nonton sendiri memang harus duduk di kursi pinggir.

Begitu antri masuk studio, mbak penjaga pintunya bilang “Urutan ke empat dari atas ya Mbak.” Aku pun langsung tau dimana kursiku karena posisinya yang gampang. Ya iyalah, di pinggir coy. Di pingir! Yang nonton sendiri duduk di pingir! Ingat di pinggir! Dekat perbatasan gang atau dinding studio! Puas! (Sabar…) 

Begitu aku duduk. Sreb. Huaaaaaa, sumpah! Aku sedih. Sedih banget. kursinya agak ngejemplak gitu. Huft, sabar…Cuma kursi aku kayaknya. 

Semunaya aku terima dengan lapang dada. Sambil aku ngelus-ngelus dada dan bilang, ‘Single….single…’


Kamis, 26 November 2015

Proposal Cinta II Nasib Kuliahku Gimana?

Ada yang terusik gak relung hati dan sanubarinya hehehe jika membaca kalimat berikut:
            Mencari ilmu dan nikah tak harus dipilih salah satu dan mengabaikan yang lain. Karena keduanya sama-sama mulia. Tak mungkin Allah memerintahkan hal yang mulia namun saling berbenturan antara yang satu dengan yang lain. Insya Allah mencari ilmu dan melaksanakan nikah bisa saling beriringan. Bahkan bisa saling melancarkan satu sama lain. Menuntut ilmu bisa menjadi lebih bergairah dengan adanya kekasih halal yang mendampingi. Menikah pun terasa nikmat dengan aktivitas intens dalam menuntut ilmu.
Hayooo, yang baca sambil tepuk-tepuk dada. Sabar ya Mblo.

Kalimat berikut bisa kamu baca di halaman 51 buku Rifa’i Rif’an yang judulnya Allah, Inilah Proposal Cintaku. Jangan ngenes ya kalau baca yang begituan, anggap kita sedang belajar. Karena pasti kita-kita punya niatan membina rumah tangga dengan seseorang nanti.

Jujur, aku sendiri sedang menyelesaikan studi S2, dan sudah memasuki umur yang katakanlah setiap ketemu orang di kondangan akan ditanyai “Kapan nikah?” bukannya “Kapan wisuda?” hehehe. Tapi minta didoakan saja semua akan terlaksana pada waktunya.

Dalam proses penyelesaian studi yang kalau orang bilang S1 itu mirip-mirip wajib, kalau S2 ada yang bilang sunnah, jadi terkadang kita itu dianggap menunda-nunda pernikahan padahal kan memang mau belajar. Ya kalau memang ada jodohnya dan mantap, adek siap-siap aja bang. Huahahaha.

Agak diabaikan saja ya kaliamat terakhir tadi.

Buku ini sendiri sebenanrya mau menyadarkan kita bahwa jangan mengambing hitamkan suatu ibadah. Lantas menunda dan bahkan menganggap buruk ibadah lain. Pernah kejadian, katakanlah si fulan atau fulanah yang menikah di masa perkuliahan. Di akhir semester malah mendapati nilai kuliahnya hancur, seolah-olah kesibukannya sebagai suami atau istri baru adalah penyebabnya. Lalu mulailah orang-orang di sekitar beranggapan “Itulah, entah hapa nikah muda. Makan tuh cinta.” sebagai contoh. Please, don’t say it. Karena bukan disebabkan pernikah hal itu terjadi. Tapi karena kurangnya keseriusan dalam membagi waktu dan disiplin lah menjadi masalah si pengantin baru. Kurang ilmu, tidak mau belajar dari orang-orang tua, tidak belajar dari pengalaman-pengalaman orang-orang sebelumnya.

Kan saya jadi berasa sok tau. Hihihi.
Karena begini, ironinya banyak malah yang belum nikah pun nilai kuliahnya lebih-lebih hancur dari yang sudah menikah. Nah kalau yang begini siapa lah yang kita jadikan kambing hitam? Nikah belum, uang jajan masih dari ortu, baju aja masih dicuciin tukang cuci. Agak susah kita cari kambing hitamnya haha, ya ujung-ujungnya manajemen diri sendiri sih yang harus dikacain gede-gede.
 Gimana, ada yang ntar setelah selesai semester ini terus mau lanjut ke pelaminan? Pantaskan diri, persiapkan. Belajar! Kalau kamu sanggup belajar dunia bertahun-tahun (S1, S2, S3) dan menghabiskan uang spp berjeti-jeti, masak belajar akhirat alias ngaji gratis ke majelis ta’lim minimal seminggu sekali untuk khatamkan bab Munakahat kok gak khatam-khatam, gak disuruh buat thesis kok. Gimana? Tertantang?!

Minggu, 22 November 2015

Proposal Cinta I

Berikut paragraf yang aku kutip dari buku Allah, Inilah Proposal Cintaku karya Ahmad Rifa’I Rif’an.

Perlu remaja putri ketahui, laki-laki yang memilih pacaran ketimbang menikah, adalah laki-laki yang mempunyai rasa tanggung jawab yang kurang, minimal takut memikul tanggung jawab dengan berbagai alasan, seperti masih kuliah, belum bekerja, belum siap mental, dll. Tapi di lain pihak ia ingin menikmati sesuatu dan “menyalurkan sedikit” kebutuhan secara gratis, tanpa tanggung jawab penuh. Apakah ini laki-laki yang baik? Belum lagi dosa-dosa yang harus ditanggung akibat pacaran tersebut beserta kafarahnya.

Paragraf ini ada di halaman 49. Paragraf inilah yang membuatku tidak bisa tidur. Karena ingin sekali menulisnya.

Dari lubuk hati yang paling dalam, aku ama sekali tak berniat menakut-nakuti, tetapi paragraf itu seolah memang membuka hati dan fikiran bahwa tak pernah adanya Pacaran dalam Islam, sekalipun Pacaran Islami. Betulah Islam tak pernah menganjurkan berpacaran, karena paragraf diataslah yang akan terjadi.

Lalu, yang paling menyayat hati adalah, fokus paragraf itu kepada perempuan. Paragraf itu mengingatkan perempuan, bahwa laki-laki menginginkan  sesuatu dari perempuan. Dan kalian tahu? Secara gratis. Mereka tidak menikahi perempuan, mereka tidak ada ikatan apa-apa dengan perempuan, kenal pun sebelumnya entah dari mana. Tapi lihat yang terjadi, secara GRATIS, GRATIS perempuan begitu rela memberikan sesuatu yang diinginkan laki-laki asing.

Bisa jadi laki-laki tidak gratis menikmati sesuatu dari perempuan. Mungkin perempuan  pergi menemani laki-lakinya ke suatu tempat makan, tempat perbelanjaan, tempat nonton, dengan imbalan dibayari makan, belanja dan nonton. Persis perempuan bayaran.

Yang lebih ironi, ketika orang tua atau saudara kandungmu membutuhkan bantuanmu, perempuan begitu jual mahal untuk rela melakukannya. Begitukah perempuan yang kau lihat di cermin saat ini? begitu hina bukan.

Lalu jika dilihat dari sudut pandang kriminal. Perempuan seolah menjadi korban. Korban laki-laki atau bisa jadi korban kebodohan dan rendahnya harga diri mereka sendiri. Dimanakah posisimu perempuan? Benarkah kau perempuan gratisan atau bayaran? Atau tidak keduanya?

Jika tidak, berkahilah bubungan itu dengan sebuah pernikahan. Jika belum saatnya, putuskan. Putuskan diri untuk senantiasa diperbaiki, dipantaskan, dan dipersiapkan.


Kamis, 12 November 2015

Flash Fiction 2000 Karakter

Pertama kali aku buat Flash Fiction di tahun 2012. Iseng-iseng ikut lomba dan menang. Juara 1 pula. Huohohoho.
Kutukan tentang 'setiap ikut lomba gak pernah menang' terpatahkan sudah. Wkwkwk, ada aja ya zaman modern gini masih percaya kutukan. Padahal emang gak rezeki aja. 
Kala itu masih semangat banget jadi Pers Mahasiswa, nulis dari satu majalah ke majalah lain, dari dari koran Waspada ke Analisa. Tapi belum pernah dilombain. Setelah 1,5 tahun nulis baru berani dilombain wkwkwk.
Flash fiction ini cuma 2000 karakter. Awalnya aku fikir gampang-gampang jambu ngerjainnya karena sedikit, gak sampe satu halaman. Tapi prosesnya agak ribet juga. Pasalnya kronologis cerita yang panjang harus dijadiin dalam kurang lebih 5 paragraf, huahahahha. 
Dan, ini lah hasilnya...(Bongkarbongkar folder lama :D)

MENCURI ALQURAN
Oleh Haqqy Luthfita*

Waktu itu aku masih SD. Hal yang tidak biasa di usia muda menjadi seorang kolektor alquran. Entah karena background keluargaku yang religius atau disain cover alquran yang indah sehingga berniat mengoleksinya.
Rasa ingin memiliki itu memuncak. Begini kisahnya, Abah berprofesi sebagai guru di sekolah swasta. Abah harus bolak balik ke penerbit untuk memesan buku ajar apa saja yang baik untuk siswanya. Kebetulan aku sekolah di tempat abah mengajar, mau tidak mau sepulang sekolah aku ikut dengan abah ke penerbit.
Disana abah sibuk mengecek dan menghitung jumlah buku untuk dipesan, aku iseng melihat ke rak buku lainnya. Hal yang paling berkesan adalah setiap selesai belanja buku, kami selalu mendapat bonus buku dongeng anak karena sering berkunjung. Keserirngan berkunjung membuat SPG tidak lagi mengawasi ku. Aku dibiarkan saja bahkan masih menyandang tas sekolah.
Aku berhenti di salah satu rak. Aku perhatikan isi rak. Kupegang - kupilih sesuai seleraku. Kaligrafi, warna hijau muda dan tua memenuhi covernya. Yup itu alquran yang indah. Ingin saja aku memilikinya. Aku lihat abah masih sibuk cek ini itu, di sekeliling ku pun nihil SPG. Tiba-tiba saja aku punya niat jelek. Aku memasukkannya ke tas. Aku lihat lagi abah sedang menuju kasir. Aku berfikir bagaimanapun aku harus punya. Kalau aku bilang ke abah pasti tidak dikasih karena sudah banyak sekali alquran milikku. Tapi kalau aku kembalikan takutnya alquran ini sudah dibeli orang lain. Tanpa pikir panjang aku masukkan alquran itu ke dalam tas dan menghampiri abah.

Di kasir aku melihat alquran yang persis dengan yang ada di tasku. Aku bertanya “Itu belanjaan siapa Bah?”. “Kita. Abah beliin untuk Lulu, makin rajin ya baca alqurannya”. Aku lemas mendengar kata-kata abah. Selesai dari kasir aku langsung lari lagi ke rak dan mengembalikan alquran. Mengelus dada sambil berkata dalam hati “Untung saja aku tidak jadi mencuri alquran”.

Selasa, 03 November 2015

Diam

Malam-malam belakangan ini memang dingin. Dingin-dingin jambu. Jambu melambangkan warna merah muda yang artinya sedang berbahagia alias kesem-sem. Hujan mengguyur Medan yang aku tau. Mudah-mudahan Riau dan Kalimantan juga dilanda, sehingga gambut-gambut disana tak lagi menjadi sumber asap mematikan.

Bersyukurnya aku masih bisa merasa dinginnya malam. Karena itu pertanda semuanya masih sama. Dingin. Kaku. Membeku. Tetiba lebat hujan turun. Namun siapa sangka ada makna-makna yang orang lain tak paham. Hanya si pelaku dan targetnya saja yang tau. Lalu Tuhan. Dan berharap Tuhan melebarkan payung-payung untuk selamatkan kami dari hujan. Namun tetap dingin, kaku, dan membeku.

Ada banyak variable yang jika dihubungkan merujuk pada rangkaian judul penelitian. Sayangnya metode kali ini adalah spekulasi. Aku sendiri tak paham, tapi punya pendapat. Data pun kuanalisis dengan prasangka, siapa tahu memang benar. Silakan lanjut pada kesimpulan yang entah kapan bisa diwujudkan dalam kalimat di akhir penelitian.

Diamlah dalam zona aman yang kau bangun dari jarak-jarak kita. Pasang jaket anti peluru jika suatu saat penembak jitu tepat di hadapan. Karena itu membuatmu mempan. Karena itu membuatmu kadang melawan. Kau tarik pelatuk dan tundukkan lawan. Aku bersimbah darah merah jambu, bersimbah. Kerasnya ego mematikan rasa. Ayo, ayo, tembak saja aku!!!


Ada pesan yang tak pernah sampai. Hingga datang pergi dua kali tak pernah terlampiaskan. Diam menjawab semuanya. Bukan karena bisu, tapi kelu lidah beku. Kembali dingin mengintai, aku yakin membeku di hadapan gadis pujaan. Tak berani pun berbuat apa. Hanya ada kaku acuh seperti tak punya rasa. Mati dalam cinta paling dalam. Kau memang pecundang setia. Setia dalam gelapnya temaram-maram.

Kamis, 08 Oktober 2015

Kemeja-Kemeja Lama

Taraaa, ini kemeja kesukaanku. Warna dan style-nya aku banget deh. Ni kemeja bahan katun. Aku gak terlalu tau detailnya gimana, secara katun ada jenisnya lagi kan. Yang pasti ni katun tebal deh, adem, nyaman dipake keluar rumah atau pun di dalam rumah. Tapi karena panjangnya kurang memenuhi syarat sebagai baju yang biasa aku pake keluar rumah, ini kemeja cuma dipake di rumah aja.

Kemeja dengan brand Charge Renown ini cukup awet. Padahal aku beli sekitar tiga tahun lalu dan sering banget aku pake tapi yah gitu-gitu aja. Paling kekecilan atau kebesaran kalau badan aku juga nambah atau kurang kilonya. Hehehehe.

Dan hahahha, buat pertama dan terakhir kalinya ‘mungkin’ wkwkwk itu kemeja hasil blusukan di MONZA. Yup, baru kali itu aku bergelut, nyumpel-nyumpel, grasak-grusuk hanya demi baju-baju yang gak bisa aku dapatkan di katakanlah toko baju di kota ini.

Sampai sekarang sih aku gak pernah lagi kesana, karena gak ada yang nemanin juga. Jadi ceritanya waktu itu karena ada liputan tentang eksistensi Monza, jadilah saya dan junior saya di organisasi kampus blusukan, dan pulangnya bawa kiloan baju monza. Tapi yang paling awet ya kemeja-kemeja ini.

Kalau yang ini katun nuansa lee, udah keliatan pudar. Tapi lucu aja untuk dipake. Suka.

Hahhaa, silakeun dilihat lagi fotonya. Apa seleraku cukup bagus? Wkwkwk atau kalian sama sekali ngebatin ‘ni anak seleranya payah euy.’ Whateverlah, this is me. :D
Akunya emang beda banget kalau di luar sama di dalam rumah.


Gokil Moment

Cukup surprise menemukan beberapa video yang untungnya gak aku hapus. Gimana gak surprise, di hari yang super ngebosanin ini karena seharian di rumah tanpa jadwal ngajar dan diskusi di bimbel, aku dikejutkan dengan video gak begitu gokil sih, tapi seruuu. Ni kejadiannya beberapa bulan lalu. Check it out deh.
Sempat terjadi beberapa take. But it's funny.
and this is the last in The Giant Kuan In Tample.

Video ini dibuat karena akunya sebagai tamu kepingin diajak keliling kota Siantar. Tapi karena kendaraan gak ada serta waktu yang sempit, gokilnya kami buat video ini. Toh, judulnya Keliling Siantar. Apa boleh buat deh.

Gantian Jannah yang ke Medan. Waktu itu katanya dia kepingin makan mie ayam, singgahlah kami ke warung mie ayam pinggir jalan. Saking lamanya si abang tukang mie, jadi kita inisiatif buat video ini. Boleh la dinilai siapa yang paling gak kekinian alias gak khatam ngegayain monyong ikan Hoki.
Hahahaha, dan sebenarnya backsound itu aku gak ngerti ntah dari mana. Yang jelas kami gak ada mainin musik dari handphone. Tetiba hasilnya gitu aja wkkwkw

Waktu itu juga lagi musim-musimnya 'Don't Judge Me Challange' kan, we also took the video, and the result is....messy ahahahhahah. Chek this out and bye bye...
See you on the next diary life :*


Rabu, 07 Oktober 2015

Kegilaan Jerawat

Perempuan itu gila. Lebih dari sekedar gila. Pagi tadi ia menyanyi, menari, lalu senyum-senyum sendiri. okelah, mungkin semua orang melakukan itu, tapi ada yang paling tidak bisa ditawar lagi. Ia melakukan semua itu karena tiga jerawat matang yang ada di wajahnya.

Bayangkan, seorang perempuan dengan jerawat di wajah dan jumlahnya tiga. Oh god! Pasti sedih! Pasti uring-uringan. Pasti mencari cara bagaimana menghilangkannya. Tapi sudah kuperhatikan satu malam ini dia malah menyanyi, menari, dan senyum-senyum memandangi jerawat yang satu di pipinya dan dua lagi di keningnya.

Belum cukupkah fakta itu membuatmu juga berfikir perempuan ini gila. Tadi malam ia bilang kepadaku, “Sudah lama gak tumbuh jerawat. Mungkin ada setahun dua tau tiga kali jerawatan. Hari ini ada tiga pula. Cantik.” Ia tersenyum lagi sambil terus memperlihatan jerawatnya kepadaku.

Berbeda dengan perempuan berkaca mata yang sering juga wara-wiri di depanku. Ia pernah mengeluh tentang jerawat, ia kesal. Kadang dikorek-koreknya jerawat itu sampai warnanya merah sekali, yang sebelumnya timbul malah mengempis lalu mengeluarkan darah sedikit.

Tapi perempuan ini, yang kubilang gila itu, sepertinya menjaga betul jerawatnya. Dia minta aku bantu mencarikan mana lagi calon-calon jerawat selanjutnya. Dia bilang ia tambah manis dengan jerawat di wajahnya. Aku diam saja. Membatin, ‘memang sudah Gila...’

Aku pernah melihat orang berkata kalau jerawat itu timbul karena banyak faktor. Bisa jadi karena seseorang stress, terlalu banyak makan kacang atau coklat, alergi kosmetik, polusi udara, atau malas cuci muka. Bisa jadi salah satu faktor itu yang mempengaruhi jerawat tumbuh di wajah perempuan itu.

Tunggu saja beberapa menit lagi. Biasanya ia pulang saat petang seperti ini. Pasti ia akan terus menjumpaiku dan melakukan rutinitasnya, menyanyi sambil menari sedikit lalu menunjukkan jerawat kesayangannya tepat dihadapanku. Entah apa rasanya punya jerawat di wajah. Euy.

Brakk. Tasnya setengah dilemparkannya ke lantai kamar. Perempuan yang tengah kita bincangkan tadi pulang. Ia mendekatiku. Aku sudah tau, pasti masih tentang jerawat. Tapi raut wajahnya berbeda. Ada kesal di dalamnya. Dia bilang, “Kok cepat kali hilangnya?” sambil menunjukkan wajahnya dengan jerawat yang mulai mengempis. Di dalam hati aku berkata, ‘bagus dong.’ Sekali lagi disodorkannya wajahnya ke hadapanku. “Hm, emang dasar gennya begini.” Ia memegangi wajahnya sambil terus menatapku.

Tiba-tiba adiknya, si perempuan berkaca mata masuk.
“Met, udah ilang jerawatku. Cepat kali pun.”
“Ya baguslah.”
“Ah gak seru. Kan kepingin punya jerawat.”
“Ada kurang-kurangnya....” sambil melengos keluar kamar lagi.

Mungkin ia punya makna lain di balik jerawat. Mungkin baginya jerawat adalah tanda.  Tapi tanda apa? Tanda kalau ia stres? Terlalu banyak makan kacang dan coklat? Alergi kosmetik? Polusi udara atau karena ia malas cuci muka? Hahaha atau ada tanda lain? Kan sudah kubilang dia Gila.

Senin, 05 Oktober 2015

Kecoa dan Prosa


Malam ini aku ingin keluar dari persembunyian. Terbang dari kain satu ke kain lain, hinggap dari satu benda ke banda lain. Kamar ini cukup lembap, penuh dengan gantungan, entah itu gantungan baju, handuk, jaket, dan beberapa gantungan tas. Aku cukup betah disini.

Biasanya ada seorang wanita yang sibuk setiap malam mengetik sesuatu. Kadang aku geli membacanya, sesuatu yang diketiknya itu, kadang pun haru sedu sedan. Tapi malam ini dia tidur lebih cepat, dan seperti biasa laptopnya masih menyala. Selanjutnya akulah yang menjadi pembaca pertama setiap kali ia mmmm mungkin curhat dengan laptopnya.
***

Aku takut cerita ini menjadi cerita yang persis dengan prosa milik Dee “Sikat Gigi”. Aku menemukan pesan mengerikan setelah suara PING bertubi-tubi membuat pemberitahuan penuh.

Sesekali aku kesal dengan pertemuan dan perbincangan yang bagimu adalah cara menyadarkanku akan eksistensimu, dan bagiku adalah cara empati yang bisa kau dapat sebagai perantau di kotaku.

Lagi-lagi kukatakan, aku takut prosa Dee menjadi kenyataan. Aku tidak mau.
Malam dimana aku benci menerima pesan itu. Garing dan membosankan. Silakan lah mengelak jika kau baca prosaku. Ini cukup membantumu dari pada rasa malu yang kau hadapakan jika bertemu denganku nanti.

Aku tau kita sudah dewasa, tapi bagiku itu bukan cara yang dewasa. Aku tau kau memikirkan dan menunggu, tapi aku tak berharap temanku berkata begitu serius kepadaku. Sudahlah. Aku mungkin ada waktu untuk sekedar diskusi dan minum kopi bersamamu. Tapi mungkin bukan komitmen setiap pagi menyediakan kopi untukmu nanti.

Aku bukan membencimu. Hanya saja mataku cukup perih dan gatal membaca pesan-pesan itu.

Sekarang bagiku sendiri adalah jawaban atas baktiku. Aku memilih untuk belajar, bekerja, membaca dan menulis sampai waktu yang ditentukan Tuhan. Banyak berkumupl bersama keluarga dan bertukar cerita dengan orang tua dan teman-teman, ya termasuklah dirimu.

Tidak hanya itu, aku pun menaruh hal yang sama pada takdir Tuhan, mungkin Tuhan tidak mengarahkan itu kepadamu tapi pada yang lain.
***

Benar kan apa kataku, kali ini aku kedapatan bagian lara dari hidupnya. Malam ini ia sedang tak berselera dengan lawan chattingnya, dan memilih tidur lebih awal.

Aku masih di meja, aku lihat seorang laki-laki melengos ke kamar. Cukup berumur. Ia sepertinya hendak masuk ke kamar. Aku bersembunyi ke belakang meja. Berdiam beberapa jeda. Kudengar tangannya menekan tombol lampu tidur yang ada diatas meja. Kira-kira tak ada lagi baunya, aku kembali ke permukaan. Laki-laki itu meninggalkan kamar sambil mematikan lampu utama. Gelap bagi manusia. Tapi bagiku sama saja.