Sekularisme, pluralisme, dan liberalisme atau
diingkat Sepilis, sudah lama mencuat berkamuflase di Indonesia. Namun Sepilis
akan mungkin selalu dibahas di setiap orde kehidupan. Dari sebelum merdeka sampai
katanya saat ini kita sudah merdeka justru ideologi ini getol menyuarakan
pemikirannya. Jika kenal nama-nama ini camkan dengan baik, Ulil Abshar Abdala, Lutfi
Asy-Syaukanie, Ihsan Ali Fauzi, Hamid Basyib, Nong Darol Mahmada, Ahmada Sahal,
dan tentunya banyak nama yang membuat kawan tercengang jika membacanya nanti,
biar jadi kejutan. Mereka bukan sekedar nama, tapi ternyata orang-orang yang
getol mondar-mandir di media serata aktivis penyebar ideologi Sepilis ini. Atau
mungkin dosen bahkan kawan sepermainan kita diam-diam juga bagian dari ajaran
mereka siapa tahu. Waspadalah dan jagalah tauhid kita dari ancaman luar dan
dalam.
Malam tadi aku selesai membaca #Indonesia Tanpa
Liberal. Buku ini benar-benar membuka cakrawalaku bahwa keberadaan Sepilis
benar-benar sedang mengkungkung Indonesia. Ternyata ideologi ni lebih
menakutkan merasuki pemikiran manusia ketimbang beberapa agama yang dari awal
menyisihkan perbedaan ketuhanan terlebih dahulu. Bukan tidak takut ideologi ajaran
Nasrani merasuki otak, tetapi juga was-was dengan Theosofi yang digadang-gadang
sebagai bentuk universal kehidupan, toleransi, dan solidaritas kehidupan umat.
Artawijaya (Penulis #Indonesia Tanpa Liberal) sukses
membuat aku mengetahui banyak mengenai perkembangan Sepilis di negeri tercinta
ini. Kita dibawa ke masa lalu dimana orang-orang Jawa jauh lebih dekat dengan
ajaran Theosofi waktu itu, yang suku ku sendiri.
Awalnya aku mengikuti bedah buku di acara Book Fair
November 2013 lalu di kampusku. Aku tertarik dengan pemaparan ustadz Qosim
Nurseha Dzulhadi salah satu pengajar di pesantren Raudhatul Hasanah. Aku
meminta slide powerpoint ustadz untuk kubaca terus-menerus di rumah. Karena kebetulan
ideologi Sepilis ini mulai terasa di kalangan teman sepermainan ku dan ini
rentan diadopsi mereka yang ajaran Islamnya tak kokoh dan yang tak bisa
dihitung lagi bagi mereka berapa kali belajar agama (ngaji) dalam seminggunya.
Selain itu Sepilis kerap terasa kejanggalannya ketika
setiap kali aku mengklik habibThink (suatu alamat blog). Kawanku Habib Asyrfi ini
adalah orang yang getol menjejali kami akan propaganda aktivis liberal untuk
diteliti bahayanya oleh kita yang awam pemikiran keras. Padahal banyak sudah
propaganda yang dilakukan tetapi jika tak dibentengi dengan pengetahuan yang
didapat salah satunya melalui buku yang aku baca ini, mungkin aku sendiri
juga menikmati propaganda itu di dalam darahku.
Aku tentu ingin buku ini menjadi salah satu
referensi awal tahun kawan-kawan. Walau memang buku ini terbitan Juni 2012,
tapi tak ada salahnya karena Sepilis sendiri terus berkembang hingga sekarang
tanpa kita sadari. Buku ini akan membuka mata kawan-kawan akan bahaya ideologi makar
ini jika terus menerus tanpa kita sadari sebenarnya ada di sekitar kita. Karena
ideologi ini mudah diserap oleh alam pikir kita. Sederhana, namun membawa
sengsara.
Jika kita tak bisa mengajak orang lain untuk
bersama-sama duduk dengan kita di Majelis, setidaknya membaca buku ini di
kamarmu menjadi satu pilihan yang boleh saja dilakukan. Oke kamu tak mau
duduk bersama ulama, tapi bisa gak aku
tantang kamu untuk baca buku yang aku rekomendasikan. Atau kamu mau pilih
duduk, mendengar di majelis atau masih kekeuh diam disitu? Atau mau baca
buku dengan tebal 292 halaman ini?
Mudah-mudahan Allah senantiasa menjaga aqidah kita
di jalan yang benar. Membentengi diri kita dari hal-hal yang dapat menjauhkan kita
dari Allah. Lalu meninggal dalam iman yang sempurna dihadapan Allah, aamiin. Selamat
membaca!