Rabu, 30 Desember 2015

2015 Untuk Aceh


Perjalanan menuju Banda Aceh
2015 menjadi tahunnya Kota Banda Aceh versiku. Di tahun ini Allah memberikan aku kesempatan untuk bisa menginjakkan kaki di kota yang dijuluki Serambi Mekkah. Dan tulisan ini salah satu wujud syukur aku karena satu per satu destinasi yang ingin aku singgahi terwujud sudah. Sebelum 2015 ini pun aku sudah bermimpi akan mengunjungi kota ini dan Alhamdulillah awal dan akhir tahun bisa menghabiskan waktu disini.

Mudah-mudahan destinasi selanjutnya, yes Nias akan dikunjungi pada tahun 2016 ya. Aamiin.

Dua kali menyambangi Banda Aceh, sangat, sangat berkesan. Di awal dan akhir tahun. Dengan suasana dan keadaan yang berbeda. Aceh benar-benar memberikan kesan tersendiri bagiku. Semoga 11 tahun pascatsunami menjadikan Aceh sebagai kota tanggap bencana dan kota role model bagi kota lain yang hendak memberlakukan hukum Syari’at.

Di awal tahun lalu mengunjungi Banda berbeda dengan kunjungan akhir tahun ini. Maret lalu, kunjungan ini pure temanya Serambi Mekkah. Mengunjungi mesjid-mesjid bersejarah. Ziarah ke makam para Waliullah. Tour guidenya pun tak tanggung-tanggung, salah seorang ulama kota Medan. Sepanjang jalan bersholawat di bus. Saling mengingatkan niat sholat Jama’ Qoshar. Berhenti untuk memperbaharui wudhu dan sholat di mesjid.

Dan aku merasa aku sedang umroh. Dalam artian berkunjung. Apalagi begitu menginjakkan kaki di Baiturrahman. Subhanallah, luar biasa. Tahajud dan shubuh disana aku anggap aku benar-benar sedang berumroh di serambinya kota Mekkah. Dan berdoa dalam waktu dekat bisa berkunjung ke Mekkah. Aamiin.

Adik bungsuku, nyokap dan aku berfoto di depan Sempati Star bus
Hihihi, tapi sedikit berbeda di akhir tahun ini. Aku pergi bersama nyokap dan adik bungsuku. Aku yakin tujuan utama kami adalah liburan wkwkwk. Dan bertetapatan adik laki-lakiku yang satu lagi kost di daerah Cadek, Banda Aceh, yup dia kuliah di Unsyiah jurusan Kedokteran Hewan. Hayooo sapa yang mau berobat, silakeun. Jadilah kami ingin mengunjunginya dan sambil minum air. Alias menyelam sambil minum aer.

Berbekal pengalaman pernah ke Banda Aceh, aku punya niatan untuk mengajak nyokap merasakan ibadah di Mesjid Raya Baiturrahman. Dan tentunya keliling Banda. Enaknya disana tempat wisata tidak pernah memungut sepeserpun uang masuk tempat wisata. Alias gratis. Mau masuk tempat wisata apapun gratis. Ya masuk aja. Kecuali om dan tante mau makan, minum, menginap, beli oleh-oleh ya bayar lah. Jadi Cuma modal ongkos aja brother. Gak seperti Medan yang apa-apa pake uang masuk. Hehehe, tapi aku tetap cinta Medan.

Begitu sampai Banda, mata mamak beranak ini pandang-pandangan. “Nanggung ya kan, udah di Banda gak nyebrang ke Sabang” keluh mamak. “Woooooo….” sorakku. “Ke Sabang lah kelen,” kata adik laki-lakiku yang kost disini. “Ya udah klo mau ke Sabang,” kataku. “Woooo….” gantian mamakku bersorak. “Yaudah besok kita ke Sabang, keliling kotanya setelah dari Sabang aja.” saranku. “Woooo, dia yang semangat kali kayaknya.” Kata mamakku.  [Ini percakapannya agak didramatisir, jangan terlalu dipercaya, yang aslinya gak gini, lebih parah!]


Pelabuhan Ulee Lheue
 Dan malam pertama di Banda kami benar-benar istirahat. Menyiapkan energi unutk keliling Pulau Weh, kota  Sabang.

Awalnya kami agak pesimis untuk bisa ke Sabang. Mengingat ini tanggal merah yang panjang, dan dengar isu orang tiket sudah habis, gak bakal bisa nyebrang. Sabang rame banget, pasti klo mau nginap udah dibooking semua. Begitulah omongan orang-orang. Jadi kami pasang tagline nya “Kalau dapat tiket syukur, kalau gak ya keliling Banda ajjah.” Kami pun pasang ancang-ancang pagi sekali harus sudah ke pelabunhan Ulee Lheue. Jadi malam itu kami tidur cepat.
Nyokap ngantri sambil narsis

Paginya pukul 7.30 kami sudah di Ulee Lheue. Kita buru-buru ke loket untuk beli tiket. Loket belum buka tapi sudah beberapa orang mengantri. Nyokap pun gak mau kalah. Saya suruh dia antri dan saya keliling pelabuhan foto-foto. Wkwkwkwk. Setelah satu jam mengantri loket baru buka. Kami pesan tiket kapal cepat 85k, waktu tempuh 45 menit.
Alhamdulillah dapat tiket

Nah, masuklah ke perjalanan yang paling berkesan untuk aku dan nyokap. Kita kedatangan Guest Star. Bintang tamu. Kalau gak ada beliau kita bingung juga mau ngapain di Sabang. Namanya Sidik. Kelahiran 92. Orangnya humble, luas pengetahuan, dan religious sekali. Siapapun di dekatnya pasti jadi sasaran percakapannya. Orangnya gak bisa diam. Lulusan STAN stambuk ’10. dan dia asli Helvetia, Medan. Sesama orang Medan, tapi jumpanya di Sabang.

Sidik ini ke Sabang sendiri. Waktu antri tiket dia tepat di belakang nyokap.  Selama mengantri terjalinlah percakapan diantara mereka. Karena dia sopan dan mau bergaul dengan emak-emak, jadilah dia ikut rombongan kami. Aku, nyokap, adik bungsuku, dan Sidik.

Begitu sampai di Sabang, kami terpisah beberapa menit. Aku, nyokap dan adik bungsu. Lalu Sidik, entah dimana. Karena biasanya kalau pergi jalan-jalan taunya cuma diboncengan, begitu nyampe tinggal menikmati pantai atau sungai yang dikunjungi. Hari itu kami stuck. Bingung. Mau ke Iboih tapi hendak naik apa? Mau ke Kilometer Nol harus nyewa kendaraan apa? Kami singgah ke warung makan untuk diskusi dan maping via google dahulu.

Sambil diskusi aku ngeliat Sidik dari kejauhan, dan daripada bingung sendiri aku lambain tangan ke arah Sidik, siapa tau bisa bantu. Sidik gabung dan akhirnya kami putuskan menyewa dua kereta untuk keliling Sabang, Pulau Weh. Sebenarnya tanpa Sidik, kami pun bisa sewa kereta dan pergi hanya bertiga. Tapi, tambah satu pria dewasa menambah kepercayaan diri untuk keliling hutan dari pada satu orang tua tambah perempuan dewasa tapi kayak anak-anak, dan satu anak laki tapi ingusan, bisa ditebak waktu jumpa gerombolan monyet di tengah hutan akan terjadi pemusnahan ekosistem monyet di Sabang.

Iboih belok kiri
Mengelilingi Sabang dengan kereta atau sepeda motor adalah hal paling baru yang kami semua rasakan. Wangi pohon, tanah yang jarang ditemui di kota membuat aaahhh indahnya, indahnya surga dunia. Pohon lebat di kanan kiri, warna hijaunya pun membuat liburan kali ini terasa sangat menggantikan hari-hari kerja kami dahulu. Sesekali landscape lautan timbul di balik-balik pepohonan. Kombinasi laut dan hutan pegunungan membuat berkali-kali tasbih terucap. Dan aku merasa senang nyokap bisa menyaksikan ini semua.

Sampai juga di Kilometer Nol
Sebelumnya, nyokap selalu melarang untuk bepergian via kereta ke luar kota. Tapi tanpa sepengatahuannya aku lakukan. dan kali ini aku tetap lakukan tanpa larangan nyokap. Kami senang sekali bisa boncengan di tengah hijaunya hutan, keloknya jalan, di Sabang pula. Rizky, adik bungsuku dibonceng Sidik.

Tujuan kami Cuma dua, Kilometer Nol dan Iboih. Kalau bisa kami pulang hari. Karena Sabang penuh banget manusia. kalau pun nginap kami gak ada persiapan untuk itu.

Senja di Cadek Permai
Aduuuuuh panjang ya,,,udah dua halaman lewat. Capek nulisnya. Walau masih banyak lagi hal berkesan yang belum diceritain. Sila cari kesannya sendiri dengan mengunjungi kota ini. Ada banyak view luar biasa yang bisa dikunjungi. Aceh ini di kanan kiri depan belakang dikelilingin laut, gunung. Yang mau merasakan keriligiusan kota ini kunjungi mesjid-mesjid bersejarah Baiturrahman, Baiturrahim dll, lalu makam para waliullah. Greget deh, bikin jasmani dan rohani kita dicharge kembali. Dapet banget liburannya. Lalu cerita si Guest Star, Sidik juga belum banyak diceritain.keliling Banda juga belum diceritain. Pendapat aku tentang oleh-oleh handmade, system transpiortasi dan lainnya lain kali lah ya…pokoknya recommended banget. Aku yakin pada penasaran. Sila googling dan buat list jalan-jalan kamu untuk 2016 ya.

Tunggu review aku lagi tentang kota ini ya. Para pembaca pada marah wkkwkwk “Cerita kok setengah-setengah…”





Senin, 21 Desember 2015

Fenomena Single

Hari ini akhirnya aku nonton Single. Aku tau Single mulai main di bioskop-bioskop itu tanggal 17 Desember. Tepatnya hari kamis minggu lalu. Kenapa gak nonton dari kemarin-kemarin? Kebetulan banget aku harus mengikuti Diklat selama dua hari Kamis-Jumat. Trus kenapa gak Sabtu nontonnya? Sabtu aku sudah dibooking untuk ambil raport adik dan kondangan. Kalau Minggu kenapa? Minggu itu jadwal Ngaji, jadi gak bisa diganggu gugat. So, aku putuskan untuk hari ini. Tapi kalau ditinjau dari ilmu iritologi, kenapa aku nonton di hari Senin, pasti lho semua udah pada tau. Ya Nomat. Begitu tau tanggal rilis Single, aku langsung ngelingkarin hari ini di kalender sebagai hari yang paling 'orang-orang hemat' pilih. Jadi varokah sekali kantong aku vroh.

Untuk menyelaraskan hari ini. Aku nonton Single sendirian aja. (seperti biasa #eh). Aku harus siap-siap diludahin orang satu gang begitu keluar rumah. Atau dilihatin, dibisikin, dan disenyumin ngejek waktu ngantri masuk studio. Karena apa? Karena orang-orang pada gandeng tangan gebetannya, dan gua cuma gandeng tas tangan.dan memang bener, sepasang alay, nengokin aku, bisik-bisik, dan senyum ngejek gitu eh ternyata jarum pentolku hampir jatuh dari cucukannya di kepala. 

Sebelum masuk studio, terjadi percakapan sengit dengan mbak resepsionis.
R          : “Silakan Mbak.”
L          : “Single, satu Mbak. (Gak pake ngenes.)”
R          : “Yang jam berapa Mbak?”
L          : “14.30 Mbak.”
R          : “Yang hijau yang kosong ya Mbak.” Si Mbak meminta aku pilih kursi.
L          : “D aja Mbak.” Sambil nunjuk kursi yang di tengah-tengah, biar gak berasa nonton sendiri.
R          : “Disini ya Mbak.” Sambil meng-klik kursi paling pinggir dekat perbatasan antara kursi bagian kanan dan kiri.
L          : “Mbak, yang disini aja.” Sambil nunjuk kursi yang di tengah-tengah.
R          : “Gak bisa Mbak. Kalau nonton sendiri pilihannya mau di pinggir sini atau sini.” Menunjuk kursi paling pinggir dekat dinding studio.
L          : “Tapi Mbak, saya mau di tengah.”
R          : “Gak bisa Mbak. Kasihan yang nonton berdua Mbak, ntar mereka terpisah.”
L          : “Loh, Mbak. Lebih kasihan mana coba sama saya yang nonton sendirian?”
           
Dan, akhirnya aku harus terima kenyataan bahwa yang nonton sendiri memang harus duduk di kursi pinggir.

Begitu antri masuk studio, mbak penjaga pintunya bilang “Urutan ke empat dari atas ya Mbak.” Aku pun langsung tau dimana kursiku karena posisinya yang gampang. Ya iyalah, di pinggir coy. Di pingir! Yang nonton sendiri duduk di pingir! Ingat di pinggir! Dekat perbatasan gang atau dinding studio! Puas! (Sabar…) 

Begitu aku duduk. Sreb. Huaaaaaa, sumpah! Aku sedih. Sedih banget. kursinya agak ngejemplak gitu. Huft, sabar…Cuma kursi aku kayaknya. 

Semunaya aku terima dengan lapang dada. Sambil aku ngelus-ngelus dada dan bilang, ‘Single….single…’