Perjalanan menuju Banda Aceh |
Dua kali menyambangi Banda Aceh, sangat, sangat berkesan. Di
awal dan akhir tahun. Dengan suasana dan keadaan yang berbeda. Aceh benar-benar
memberikan kesan tersendiri bagiku. Semoga 11 tahun pascatsunami menjadikan
Aceh sebagai kota tanggap bencana dan kota role model bagi kota lain yang
hendak memberlakukan hukum Syari’at.
Di awal tahun lalu mengunjungi Banda berbeda dengan
kunjungan akhir tahun ini. Maret lalu, kunjungan ini pure temanya Serambi Mekkah. Mengunjungi mesjid-mesjid bersejarah. Ziarah
ke makam para Waliullah. Tour guidenya pun tak tanggung-tanggung, salah seorang
ulama kota Medan. Sepanjang jalan bersholawat di bus. Saling mengingatkan niat
sholat Jama’ Qoshar. Berhenti untuk memperbaharui wudhu dan sholat di mesjid.
Dan aku merasa aku sedang umroh. Dalam artian berkunjung. Apalagi
begitu menginjakkan kaki di Baiturrahman. Subhanallah, luar biasa. Tahajud dan
shubuh disana aku anggap aku benar-benar sedang berumroh di serambinya kota
Mekkah. Dan berdoa dalam waktu dekat bisa berkunjung ke Mekkah. Aamiin.
Adik bungsuku, nyokap dan aku berfoto di depan Sempati Star bus |
Hihihi, tapi sedikit berbeda di akhir tahun ini. Aku pergi
bersama nyokap dan adik bungsuku. Aku yakin tujuan utama kami adalah liburan
wkwkwk. Dan bertetapatan adik laki-lakiku yang satu lagi kost di daerah Cadek,
Banda Aceh, yup dia kuliah di Unsyiah jurusan Kedokteran Hewan. Hayooo sapa
yang mau berobat, silakeun. Jadilah kami ingin mengunjunginya dan sambil minum
air. Alias menyelam sambil minum aer.
Berbekal pengalaman pernah ke Banda Aceh, aku punya niatan
untuk mengajak nyokap merasakan ibadah di Mesjid Raya Baiturrahman. Dan tentunya
keliling Banda. Enaknya disana tempat wisata tidak pernah memungut sepeserpun
uang masuk tempat wisata. Alias gratis. Mau masuk tempat wisata apapun gratis. Ya
masuk aja. Kecuali om dan tante mau makan, minum, menginap, beli oleh-oleh ya
bayar lah. Jadi Cuma modal ongkos aja brother. Gak seperti Medan yang apa-apa
pake uang masuk. Hehehe, tapi aku tetap cinta Medan.
Begitu sampai Banda, mata mamak beranak ini
pandang-pandangan. “Nanggung ya kan, udah di Banda gak nyebrang ke Sabang”
keluh mamak. “Woooooo….” sorakku. “Ke Sabang lah kelen,” kata adik laki-lakiku
yang kost disini. “Ya udah klo mau ke Sabang,” kataku. “Woooo….” gantian mamakku
bersorak. “Yaudah besok kita ke Sabang, keliling kotanya setelah dari Sabang
aja.” saranku. “Woooo, dia yang semangat kali kayaknya.” Kata mamakku. [Ini percakapannya agak didramatisir, jangan
terlalu dipercaya, yang aslinya gak gini, lebih parah!]
Pelabuhan Ulee Lheue |
Dan malam pertama di Banda kami benar-benar istirahat. Menyiapkan
energi unutk keliling Pulau Weh, kota Sabang.
Awalnya kami agak pesimis untuk bisa ke Sabang. Mengingat ini
tanggal merah yang panjang, dan dengar isu orang tiket sudah habis, gak bakal
bisa nyebrang. Sabang rame banget, pasti klo mau nginap udah dibooking semua. Begitulah omongan orang-orang.
Jadi kami pasang tagline nya “Kalau dapat tiket syukur, kalau gak ya keliling
Banda ajjah.” Kami pun pasang ancang-ancang pagi sekali harus sudah ke
pelabunhan Ulee Lheue. Jadi malam itu kami tidur cepat.
Nyokap ngantri sambil narsis |
Paginya pukul 7.30 kami sudah di Ulee Lheue. Kita buru-buru
ke loket untuk beli tiket. Loket belum buka tapi sudah beberapa orang
mengantri. Nyokap pun gak mau kalah. Saya suruh dia antri dan saya keliling
pelabuhan foto-foto. Wkwkwkwk. Setelah satu jam mengantri loket baru buka. Kami
pesan tiket kapal cepat 85k, waktu tempuh 45 menit.
Alhamdulillah dapat tiket |
Nah, masuklah ke perjalanan yang paling berkesan untuk aku
dan nyokap. Kita kedatangan Guest Star.
Bintang tamu. Kalau gak ada beliau kita bingung juga mau ngapain di Sabang.
Namanya Sidik. Kelahiran 92. Orangnya humble, luas pengetahuan, dan religious sekali.
Siapapun di dekatnya pasti jadi sasaran percakapannya. Orangnya gak bisa diam. Lulusan
STAN stambuk ’10. dan dia asli Helvetia, Medan. Sesama orang Medan, tapi
jumpanya di Sabang.
Sidik ini ke Sabang sendiri. Waktu antri tiket dia tepat di
belakang nyokap. Selama mengantri
terjalinlah percakapan diantara mereka. Karena dia sopan dan mau bergaul dengan
emak-emak, jadilah dia ikut rombongan kami. Aku, nyokap, adik bungsuku, dan
Sidik.
Begitu sampai di Sabang, kami terpisah beberapa menit. Aku,
nyokap dan adik bungsu. Lalu Sidik, entah dimana. Karena biasanya kalau pergi
jalan-jalan taunya cuma diboncengan, begitu nyampe tinggal menikmati pantai
atau sungai yang dikunjungi. Hari itu kami stuck.
Bingung. Mau ke Iboih tapi hendak naik apa? Mau ke Kilometer Nol harus nyewa
kendaraan apa? Kami singgah ke warung makan untuk diskusi dan maping via google dahulu.
Sambil diskusi aku ngeliat Sidik dari kejauhan, dan
daripada bingung sendiri aku lambain tangan ke arah Sidik, siapa tau bisa
bantu. Sidik gabung dan akhirnya kami putuskan menyewa dua kereta untuk
keliling Sabang, Pulau Weh. Sebenarnya tanpa Sidik, kami pun bisa sewa kereta
dan pergi hanya bertiga. Tapi, tambah satu pria dewasa menambah kepercayaan
diri untuk keliling hutan dari pada satu orang tua tambah perempuan dewasa tapi
kayak anak-anak, dan satu anak laki tapi ingusan, bisa ditebak waktu jumpa gerombolan
monyet di tengah hutan akan terjadi pemusnahan ekosistem monyet di Sabang.
Iboih belok kiri |
Mengelilingi Sabang dengan kereta atau sepeda motor adalah hal
paling baru yang kami semua rasakan. Wangi pohon, tanah yang jarang ditemui di
kota membuat aaahhh indahnya, indahnya surga dunia. Pohon lebat di kanan kiri,
warna hijaunya pun membuat liburan kali ini terasa sangat menggantikan
hari-hari kerja kami dahulu. Sesekali landscape lautan timbul di balik-balik
pepohonan. Kombinasi laut dan hutan pegunungan membuat berkali-kali tasbih
terucap. Dan aku merasa senang nyokap bisa menyaksikan ini semua.
Sampai juga di Kilometer Nol |
Sebelumnya, nyokap selalu melarang untuk bepergian via
kereta ke luar kota. Tapi tanpa sepengatahuannya aku lakukan. dan kali ini aku
tetap lakukan tanpa larangan nyokap. Kami senang sekali bisa boncengan di
tengah hijaunya hutan, keloknya jalan, di Sabang pula. Rizky, adik bungsuku
dibonceng Sidik.
Tujuan kami Cuma dua, Kilometer Nol dan Iboih. Kalau bisa
kami pulang hari. Karena Sabang penuh banget manusia. kalau pun nginap kami gak
ada persiapan untuk itu.
Senja di Cadek Permai |
Aduuuuuh panjang ya,,,udah dua halaman lewat. Capek nulisnya.
Walau masih banyak lagi hal berkesan yang belum diceritain. Sila cari kesannya
sendiri dengan mengunjungi kota ini. Ada banyak view luar biasa yang bisa
dikunjungi. Aceh ini di kanan kiri depan belakang dikelilingin laut, gunung. Yang
mau merasakan keriligiusan kota ini kunjungi mesjid-mesjid bersejarah
Baiturrahman, Baiturrahim dll, lalu makam para waliullah. Greget deh, bikin jasmani
dan rohani kita dicharge kembali. Dapet banget liburannya. Lalu cerita si Guest
Star, Sidik juga belum banyak diceritain.keliling Banda juga belum diceritain. Pendapat
aku tentang oleh-oleh handmade, system transpiortasi dan lainnya lain kali lah
ya…pokoknya recommended banget. Aku
yakin pada penasaran. Sila googling
dan buat list jalan-jalan kamu untuk
2016 ya.
Tunggu review aku
lagi tentang kota ini ya. Para pembaca pada marah wkkwkwk “Cerita kok
setengah-setengah…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar