Minggu, 27 September 2015

Begadang

Aku ingin lekas-lekas tidur. Karena esok adalah Senin. Aku harus kembali pada rutinitasku di Ibu Kota. Tapi seperti kata Wow fakta, “Orang yang sedang jatuh cinta akan tidur sangat larut.” Mungkin itu lah yang tengah aku rasa.

Aku tidak bisa berpaling darinya. Padahal itu sudah cerita lama, tapi wanita dengan jilbab besar itu menghantuiku. Terakhir kali kami bertemu lebaran bertahun-tahun lalu. Walau aku tau sorot matanya, tapi tetap tidak pernah sejelas perasaanku padanya.

Malam ini, aku ingin lekas tidur. Jika ada pesan bbm darinya untuk memintaku tidur, pasti aku akan senang meng-iyakannya. Membalas secepatnya dengan kata ‘Siap!’ lalu buru-buru menuju kasur. Tapi, hah! Khayalan saja.

Sudah lama aku tidak merasakan hal seperti ini. Mungkin juga karena faktor usia. Ketika orang tua bertanya kapan akan segera melangsungkan ..... ntah lah, berat sekali memang. Untungnya aku laki-laki, alasan untuk berkarir selalu jadi kambing hitam.

Aku bisa saja melamar wanita itu. Tapi selalu saja ada cermin yang memaksaku untuk melihat bayanganku di seberang sana. Dan mungkin ada satu lagi penghalang, hm, apa status wanita itu? Apakah gadis? Janda? Sudah mempunyai calon pendamping? Sudah dilamar? Atau mereka menyebutnya dikhitbah?

Argh...aku tak peduli. Aku ingin tidur. Jika tidak bisa tidur aku mau merokok saja! Sambil menyeruput kopi sachet yang kubeli dari swalayan depan rumah.

Secara bergantian rokok dan cangkir kopi naik turun melalui tanganku. Sepat dan pahit menguasai mulutku. Sembari mengambil posisi enak di kursi panjang, aku merogoh sakuku dan kutemui smartphone yang hanya dia setia kapan aku butuh. Kuganti personal message-ku, “Farah, kok ntdlv?!” taktik ku untuk wanita itu chatting bersamaku.

Sialnya, satu jam aku berselonjor di kursi panjang balkon kamarku, selain rokok dan cangkir kopi, tak kuangkat lagi smartphone itu. Sudah kuduga, bayangan cermin telah menjawab itu semua.

Aku menatap langit malam dari balkon kamar kost. Bintangnya jarang-jarang, kalau pun ada satu yang berkelap-kelip. Jika diperhatikan dengan jelas, ada pergantian kerlingan cahaya dari titik kuning jauh disana.

Hm, seperti wanita yang jauh disana. Waduh! Kalau begini bisa-bisa aku begadang lagi.
Pukul 01.35 am. Kuselesaikan rokok dan kopi ini. Lalu berjalan menuju kasur. Aku, beberapa menit lalu seorang yang mabuk cinta. Tapi yakinlah aku tetap manusia biasa. Walau kopi bisa menjaga mataku, tapi Tuhan ingin aku tidur. Aku harus....Brakk!!! zzzzz.

Selasa, 22 September 2015

Terima Kasih - One Day One Page



Page 12

Beberapa menit lalu, aku berbaring di tempat tidur dan pelan-pelan hendak memejamkan mata. Tapi aku masih memikirkan empat sosok yang dengan sabar serta rendah hati membantu si tutor baru ini. Aku memang sudah hendak tidur. Rencananya setelah browsing materi untuk besok aku mau langsung tidur aja, biar besok fit lagi bertugas, hahaha. Tapi rasanya, kebangetan deh kalau aku gak menuliskan nama-nama orang yagn berjasa banget untuk beberapa minggu ini bahkan sampai beberapa menit tadi.

Aku bersyukur sekali dipertemukan dengan orang-orang ini. Mereka adalah om Uzi, Tika, Pak Edi, Kak Febri, Kak Esther, dan Kak Tika. Dari awal aku seleksi sampai awal mengajar, alhamdulillah mulus berkat arahan beliau-beliau. Kalau tidak ada mereka waduh aku pasti bingung tanya sana-sini yang pastinya bikin repot satu bimbel. Hehehhe.

Terima kasih ya Allah, jika bukan karena kehendakmu gak mungkin bisa bertemu orang-orang rendah hati seperti mereka.

Om Uzi adalah Om ku. Beliau adik kandung mamaku. Om Uzi bertugas di salah satu bimbel nasional sebagai kepala cabang. Beliau yang waktu itu mengajak gabung di Bimbel tempatnya bekerja, tetapi saat itu aku masih ogah-ogahan alias pernah berfikir gak mau jadi guru/pengajar lagi, wkwkwk. Sebagai sesama lulusan Bahasa Inggris mungkin beliau merasa kaderisasi ke aku harus dilakukan. Aku pun mengikut jejaknya, tanpa nepotisme yang pastinya. Mengikuti seleksi sebagaimana calon pengajar lainnya, dan harus terima kata lulus atau tidak lulus.

Di masa-masa seleksi aku banyak bertanya ke Tika. Tika ini teman kuliah S1 dulu. Dia sudah deluan mengajar di Bimbel ini sekitar satu semester lalu. Semua jenis seleksi kutanya tata cara ke Tika, mulai dari Tes Tulis sampai TPM calon pengajar. Alhamdulillah Tika dengan rendah hati mau terus balasin bbm dan angkat telepon dari si yang gak tau apa-apa tentang dunia bimbel ini hahah. Tahap seleksi pun berakhir.

Beberapa hari berikutnya aku dapat sms dari Pak Edi untuk menghadiri interview. Dan hehehe, aku disuruh tanda tangan kontrak mengajar. Itu artinya aku diterima. Pak Edi memberi arahan standarisasi pengajar, serta mengingatkan untuk terus mengasah kemampuan, karena ilmu saat ini belum tentu cukup mengingat Bimbel adalah sarana kedua mendapatkan ilmu setelah sekolah formal bagi siswa.  Oleh karenanya sebelum mengajar ada yang namanya adaptasi. Ini harus dilewati bagi setiap calon pengajar. Adaptasi ini berguna untuk penyesuaian standarisasi proses belajar mengajar di kelas.

Seminggu, aku tidak dapat kabar kapan aku adaptasi. Sempat juga bertanya-tanya ke teman sekelas di S2 tentang ‘adaptasi’. Kata mereka ‘tunggu aja panggilan dari akademiknya untuk jadwal adaptasi.’ Aku pun setia menunggu. Hehehe, asal gak digantung aja lah.

Yang ditunggu pun akhirnya tiba juga, seminggu setelah bertemu pak Edi. Aku dapat telepon dari Kak Esther untuk ketemu Kak Febri. Hahaha, dua orang ini paling unik diantara semuanya. Susah aku deskripsikannya tapi kalau kalian ketemu mereka asli orangnya asik banget. Terutama kak Febri. Dua jam ngeliatin beliau ngajar buat aku kagum banget deh. Keren, asik, lucu, dan efektif banget menggunakan waktu satu jam untuk bisa mengajar, penguasaan kelas, mengerjakan quiz, soal latihan, pake ada acara game-game segala lagi. Widih. Hebat deh pokoknya.

Dan sore hari ini, kak Esther yang mempertemukan aku dengan Kak Tika. Makasih banyak buat kak Tika, atas aqua gelasnya, tutur kata lembutnya, arahan mengisi form nilai dan absen yang cukup ribet tapi beliau sabar. Makasih Kak, makasih banget.

At last, Alhamdulillah, terima kasih ya Alloh, semoga kemudahan, kelancaran dan keberkahan terus yang didapat dari di tempat ini. Aamiin. Masih panjang perjuangan, dan ini baru awal. Bismillah.

Kamis, 17 September 2015

Guru, Sekarang dan (mungkin) Selamanya



 Page 11
 
Semalam aku gak posting tulisan, karena seharian di luar. TPM (Tes Potensi Mengajar) dan adaptasi di salah satu bimbel. Walau cuma perform satu materi dan selebihnya duduk memerhatikan tutor lain mengajar, ternyata cukup menguras energi juga. Tapi banyak banget pelajaran yang aku dapat dari mereka.

Hm, dalam benak merintih, ‘This is the way that god give to me’. Yah, guru, pengajar, atau tutor kira-kira itulah istilah yang selama tiga tahun ini kusandang. Sempat berfikir untuk melepas atribut itu tapi sulit. Sulit untuk menentang takdir tuhan.

Setelah berbulan-bulan di rumah mencoba melarikan diri dari kegiatan belajar mengajar, aku kangen juga untuk bisa show up lagi. Padahal aku sempat bilang ke Tika (teman kampus) kalau lebih memilih bekerja di dalam rumah untuk sementara ini sebagai editor dan penulis, ternyata eh ternyata, hm entahlah agak sulit juga menjelaskannya.

Dari empat anak orang tuaku yang sudah berkuliah, hanya aku yang masuk ke jurusan pendidikan. Itulah gen yang diwariskan dari orang tuaku. Karena mama dan abah berprofesi sebagai guru. Ketiga saudaraku yang lain mengambil jurusan medikal. Kakak pertama-jurusan Kedokteran Gigi, adik perempuanku-jurusan Akademi Kebidanan, dan adik laki-lakiku mengambil jurusan Dokter Hewan. Jadilah aku, si Lulu-PENDIDIKAN Bahasa Inggris. Masih ada satu lagi adik laki-laki paling kecil, tahun depan baru kita tau dia lulus di jurusan apa.

Jika diurutkan secara gen, maka wajar jika aku menjadi seorang guru. Pasalnya generasi diatas ku dalam keluarga kami rata-rata berprofesi sebagai GURU. Jadi memang kalau aku menjadi guru bukan suatu penyimpangan., malah menyimpang jika aku mati-matian gak mau dibilang guru. Hahahha.

Aku selalu mengeluh capek. Jadi guru itu capek. Capek kalau cuma punya ilmu pas-pasan. Capek kalau gak punaya metode, pendekatan, strategi, teknik yang jitu dalam menaklukan murid. Capek kalau gak punya suara kuat. Capek kalau punya fisik yang lemah. Capek kalau pake high heels di sekolah, hahaha. (yang ini becanda). Tapi capek itu bisa terbayar ketika murid-murid kangen dan kehilangan kalau kita gak masuk kelas; kalau pulang gak hanya disalamin tapi diciumin; lagi di kantor dibawain jajanan; ketika perpisahan nangis gak mau pisah. Hahahha.

Mungkin ini yang disebut panggilan jiwa, atau ya takdir dari tuhan. Aku masih belum tau lagi nasib aku di bimbel ini, aku harap semua dipermudah dan dilancarkan. Apalagi aku yang kadang agak sulit beradaptasi dengna orang baru, ribet dah. Balik lagi dari nol. Mengajar di sekolah formal, sekolah alam/non formal, dan sekarang bimbigan belajar, jadi pengalaman yang gak akan bisa dilupain dah.  Masing-masing punya jalannya. Nikmati aja.

Selamat datang si Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.



Senin, 14 September 2015

Target dan Rencana - One Day One Page



Page 10

Kemarin sore aku meluangkan waktu untuk diskusi dengan teman lama ku, Romi. Aku pikir bertukar fikiran akan merefresh aku yang sudah usang seperti ini. Jadilah kami nongkrong di kedai kopi daerah Sei Serayu.

Perbincangna kami bertahan kurang lebih 4 jam. Mulai dari idealisme masing-masing mengambil S2, target kedepan, urusan asmara kami masing-masing, kesempatan berwirausaha, hingga nasihat untuk bisa menabung.

Romi cukup mandiri di mataku. Dia cukup realistis sebagai seorang laki-laki. Dia juga pekerja keras. Dibandingkan aku, Romi jauh lebih bisa mengatur hidupnya, waktunya, dan keuangannya. Jadi sebenarnya diskusi kami kemarin itu kebanyakan Romi lah yang menjadi penengah dari masalah yang aku hadapi.

“Ada tiga orang dengan penghasilan yang sama. Katakanlah seorang guru di Medan berpenghasilan 2,5 juta per bulan. Orang pertama mendedikasikan gajinya untuk memperindah rumah, rumahnya pun tak tanggung-tanggung mewahnya. Orang kedua mendedikasikan gajinya untuk jalan-jalan, life style, nonton, nongkrong bareng teman. Sedangkan orang ketiga mendedikasikan gajinya untuk rumah, pendidikan, jalan-jalan, kebutuhan pokok, bisa kredit kendaraan dan punya tabungan. Lalu pertimbangannya mana yang lebih kaya kelihatannya?”

“Orang ketiga.”

“Padahal mereka punya gaji yang sama, tapi lihat bagaimana salah satunya bisa mengatur kebutuhannya. Guru-guru tempat aku mengajar heran mengapa aku bisa jalan-jalan ke luar negeri, kuliah s2, menyewa kamar kost, kredit kendaraan, punya tabungan padahal gaji kami sama.”

Hahaha, beda jauh banget dengan aku. Gaji 3juta per bulan aku belum kemana-mana. Bahkan gak kepikiran nabung, buset gak tuh. Sukanya nyesal kalau udah butuh sesuatu tapi dompet udah tipis gara-gara gak bisa kontrol cuma untuk nonton, beli buku, makan, sedekah. Hal-hal biasa tapi kok bisa mengeluarkan bajet luar biasa. Ckckck, lulu oh lulu.

Tapi memang kebutuhan dan keinginan orang beda-beda, ada orang yang hanya butuh rumah sederhana, yang penting nyaman. Ada orang yang butuh jalan-jalan, gak mesti ke luar negeri, karena alasan dia terlalu cinta dengan Indonesia sehingga memilih untuk menelusuri kearifan lokal dahulu. Ada yang tidak memilih lanjut S2 karena menurutnya dengan S1 pekerjaannya pun bisa dikerjakan dengan baik. Ada yang masih memanfaatkan angkutan umum daripada berkenderaan sendiri. Dan banyak hal-hal lain yang tidak bisa kita generalisasikan.

“Welfare.” Tulisnya dalam kertas. “Tau apa arti welfare? Artinya sejahtera. Sejahtera menurut Lulu seperti apa?”
 “Buat aku sejahtera itu bebas. Bebas mau kemana aja, melakukan apa aja, hidup tenang.”
“Oke, kalau mau kemana aja kita butuh apa? Uang?”
“Iya sih.”
“Makanya dari sekarang buat target, nabung. Kurangi ngafe lah. Berangkat haji aja harus nabung. Mau dapat penginapan di dekat Ka’bah aja harus ada uang tambahan, kalau mau dapat penginapan yang biasa ya terpakasa ke Ka’bah naik bus lagi.”

Walau kutipan pembicaraan kami sekilas terlihat meterialistis paling gak itu cukup jadi pelajaran buat aku yang gak bisa ngeram tangan untuk ngerogoh kantong untuk sesuatu yang sewajarnya.
Padahal enam bulan lalu aku berpenghasilan 3 juta perbulan. Tapi pikiranku pendek banget. Sampe aku bingung mau ngabisin uang itu kemana aja. Kalau makan dan tempat tinggal udah ditanggung orang tua, ngasih adik-adik sudah, beliin orang tua suatu barang juga udah, selebihnya uangku habis untuk hal-hal kecil yang aku besar-besarkan. Kacau banget menajemen diri aku. Kacau, parah.

Ternyata kelirunya aku adalah, perencanaan yang tidak ada. Aku tidak merencanakan penghasilanku itu untuk kemana saja dan apa saja. Itu kelirunya. Satu lagi, tidak berpikir panjang. Gak punya visi kedepan. Hahaha, terlalu nyaman di ketek orang tua. Merasa bahwa perempuan itu selalu ikut si laki-laki, jadi gak ada rasa tanggung jawab sama diri sendiri. Ternyata aku begitu yah. Waduuuuh. Masih ada gak ya laki-laki yang mau sama aku kalau udah baca blog ini. Hahaha. Pada takut diporotin ini jadinya.

Hayo mau kapan mulai buat target dan rencananya? Jangan lama-lam ya. Secara bulan Oktober nanti usiaku 24 tahun. Masa iya jadi yang lebih burk dari sebelumnya. Gak kan? Ayo Lulu mulai dari sekarang deh, gak ada kata terlambat. Semangat.

Minggu, 13 September 2015

Komitmen - One Day One Page


Page 9

Pagi ini aku dapat pesan ingkat dari junior di organisasi kampus dulu. Isinya minta kesediaan aku untuk jadi pemateri penulisan berita online. Hihihihi, aku jadi agak-agak gimana gitu. Secara udah lama tidak bergelut di dunia Jurnalistik, sekitar satu tahunan. Tapi untuk menulis aku usahakan tetap komitmen.

Ya, berbicara tentang komitmen, seolah mengingatkan ku pada pepatah ‘alah bisa karena biasa’. Aku yakin komitmen membuat seseorang akan berungguh-sungguh mencapai sesuatu yang dikomitmenkan. 


Contohnya saja dalam menulis, jika memang komitmen untuk terus menulis, apa yang menjadi niat awal berkomitmen insya Allah akan dicapai. Seorang penulis tidak akan menjadi penulis jika tidak punya komitmen dari awal. Tidak akan pernah ada panggilan Penulis bagi orang yang tidak menulis. Seperti guru yang dikenal dengan aktivitas mengajarnya, suster yang merawat orang sakit, seniman yang menghasilkan karya seni, dan lain-lain.


Tapi memang menulis ini sesuatu yang universal sekali. Jangan salah lho, kalau seorang guru bisa juga disebut penulis, dokter pun begitu, suster dan seniman bisa saja mempublish tulisan mereka di media atau buku dan lain sebagainya.


Jadi, kamu Lulu jangan berbangga hati dulu dengan konsitensimu di dunia bahasa lalu mengkultuskan diri sebagai penulis hanya karena menulis catatan harianmu, ternyata di luar sana banyak penulis yang tidak berlatar belakang jurusan bahasa. Hayo, kamu mau bilang apa? Kalau mereka lebih berkomitmen menulis untuk mendukung profesi mereka dibanding kamu yang anak bahasa dan Cuma bisa menulis? Hahahaha. Kalah saing pastinya.


Seperti mba Puput Utami yang konsern di dunia fashion. Mbak ini salah satu anggota Hijab Community, dan kebetulan beliau ini ternyata istrinya abang teman aku, dan baru melangsungkan pernikahan semalam, 13 September. Mbak Puput termasuk yang sangat komitmen pada dirinya. Ia suka menulis dan suka fashion. Menuliskan semua pengetahuannya tentang fashion dan tentunya hijab dalam blognya Pupututami.com.  Ini mengangkat namanya menjadi begitu exis di kalangan remaja yang sedang trend dengan istilah Hijab. Kunjungi saja instragramnya atau blognya, kamu bisa tau seberapa banyak orang yang mengenal beliau, salah satunya karena ia punya komitmen. Baik itu di dunia fashion maupun literasinya.


Jauh banget rasanya kalau berkaca dari mbak Puput yang sama sekali gak kenal dan jauh dari Medan. Aku sendiri punya teman yang aku kenal dia gak banget untuk bisa menulis novel, tapi perkiraanku salah. Laki-laki ini dua tahun lalu barter novel denganku dan punya alasan belajar dari Perahu Kertasnya mbak Dee untuk memulai novel yang digarapnya, lalu mempublishnya di blog dan mencetak bukunya. Lalu aku bisa ngejudge kalau dia aanak Medan yang mencetak buku genre nonfiksi novel satu-satunya di kota Medan di bulan Agustus. Habib memang dikenal dengan pemikirannya, dia si tukang mikir, dia tergila-gila pada matematika dan disain grafis, dia juga menggilai buku, mungkin ini juga yang mempengaruhi Habib untuk komitmen menulis. Ia punya banyak pemikiran yang harus dituangkan, dan untuk novelnya aku yakin itu hasil perpaduan kecintaannya pada buku dan pikiran-pikirannya. Dan yah, jadilah ia seorang novelis. Kalian bisa kunjungi blognya di HabibThink.com


Ini ada cerita lagi dari orang yagn dekat dengaku saat Tsanawiyah dulu. Dia bukan penulis tapi punya komitmen yang luar biasa. Nurul Nijar Anggraini, sering kami panggil Nyaik, beliau ini teman sekelas plus teman satu genk. Aliyah kami pisah sekolah, kuliah pun tak sama dan sampai sekarang kami jarang jumpa. Malah Nyaik lebih sering komunikai dengan kakakku yang satu profesi iseng-iseng degnannya. Heheh, Olshop. Ini anak juga bagian dari Hijabers Indonesia. Nyaik dari dulu memang komitmen menjadi seorang desiner. Aku tau cita-citanya sejak di bangku Tsanawiyah, dan aku lihat sekarang itulah Nyaik. Kuliah di ibukota membuat cita-cita semakin kelihatan. Secara ibu kota, semua trendsetter Indonesia bergumul disana, dan Alhamdulillah ini menjadi jalannya beliau. Nyaik juga sudah punya brand dan butik sendiri. Aku acungin jempol utnuk gadis manis ini. Dia juga pernah bilang mau komitmen menulis, dan aku yakin dengan modal komitmennya di hijab fashion juga akan mengantarkan tulisannya untuk dapat dinikmati orang lain seperti hijab hasil disainnya.


Dan sebenarnya aku punya segudang teman yang karena komitmen mereka, mereka menjadi apa yang mereka inginkan. Kerja keras, pantang menyerah, terus belajar, berdoa, disiplin, menerima maukan adalah ciri-ciri orang yang mempunyai komitmen kuat. Salut untuk itu semua.


So, punya komitmen jangan ditunda-tunda, kalau tidak diwujudkan dari sekarang kapan lagi? Malu sama mereka yang udah memulai komitmennya dari dulu, padahal umur gak jauh beda, tapi hasil mengapa mereka yagn deluan merasakannya? Ya karena komitmen tadi.


Semangat Money Day, memulai Komiten!


Rabu, 09 September 2015

Punya Banyak Cita-cita - One Day One Page

Page 8

Setiap orang mempunyai cita-cita, begitu juga aku. Selama aku hidup 23 tahun aku mempunyai banyak cita-cita. Ya, termasuk seorang pengajar, penulis, editor, petualang, dan semua hal yang aku suka itu kuanggap sebagai cita-cita.

Tidak tau bagaimana orang tua dahulu menyebut apa itu cita-cita. Yang ada dikepalaku adalah cita-cita suatu keinginan yang harus dicapai. Apa itu akan menjadi pekerjaan tetapmu, pekerjaan sambilanmu, atau kapanpun kau mau kau bisa melakukannya.

Sampailah aku masuk ke suatu organisasi intra kampus. Aku menemukan cita-cita. Menjadi seorang reporter. Yang aku tau reporter bisa menjadi apa saja dan siapa saja. Ketika ada informasi yang harus disampai baik itu meliputi wisata kuliner, jalan-jalan, politik kampus, hingga demonstrasi yang membuat kulitku tampak lebih hitam. Semua hal yang aku suka bisa aku lakukan dengan menjadi reporter.

Jika orang-orang bilang, travelling adalah kegiatan yang mengasyikkan. Mungkin aku juga akan bilang iya. Kenapa? Karena suatu kali aku kedapatan rubrik jalan-jalan. Mau tidak mau ya aku harus jalan-jalan. Melewati samudra dengan kapal nelayan. Snorkeling dengan kacamata renang biasa. Bermalam di pantai, mandi dengan air asin, blusukan mengintip penyu bertelur tengah malam dan tidur di barak tentara. Semuanya sangat menantang. Ini bagian dari cita-citaku, yang aku sebut petualang.

Menjadi pengajar, ya. Bukan guru. Aku takut dibilang guru. Itu predikat yang luar biasa bagiku. Mengajar secara formal, dan menjadi momok bagi anak-anak. Aku ingin disebut pengajar. Mengajar dengan menyenangkan. Tidak ada beban. Dapat diterima dan selalu menjadi hal yang dirindukan ketika tidak ada. Dan aku pernah merasakannya.

Sekolah yang bukan sekolah. Begitulah kira-kira. Aku bukan guru. Aku hanya punya tujuan agar mereka tidak stress di penampungan. Itu lah yang aku lakukan di suatu penampungan di kota kelahiranku. Bersama anak-anak asing. Apa saja bisa kulakukan asal semuanya senang. Tertawa, bermain dan mendapat pelajaran dari apa yang dilakukan dalam kegiatan bersama. Sayangnya hanya berjalan satu semester.

Aku lulusan pendidikan Bahasa Inggris. Aku bersyukur sekali dengan jurusan yang aku ambil. Karena bahasa banyak memberikan aku peluang dalam cita-citaku tadi. Ketika aku menjadi reporter, dan melakukan wawancara dengan orang asing bisa dipergunakan. Di lain pengalamanku mengajar anak-anak asing kemampuan bahasa Inggrisku pun banyak manfaatnya, bekerjasama dengan organisasi internasional juga menjanjikan kantongku. Hahaha

Editor juga menjadi cita-citaku semenjak aku masuk organisasi pers kampus. Walau reporter bisa dihandalkan dalam menjelajah semua sektor kegiatn, aku selalu tau kodratku sebagai perempuan. Pergi kemana yang aku mau, dari pagi sampai mau pagi, itulah yang kadang membuatku segan sama kodratku sendiri. Aku yang berjilbab besar, mengenakan rok, terkadang buat orang-orang disekelilingku memuji atau bisa jadi mencela. Berkumpul dengan banyak laki-laki dan berinteraksi dengan siapa saja. Haduh, akhirnya aku punya jalan keluar sendiri dengan tetap tidak meninggalkan dunia literasi. Ya, menjadi editor atau penulis. Walau masih skala anak bawang, aku tetap ingin menjadi penulis dan editor.

Mungkin minggu depan belum tentu aku bisa duduk tenang sperti ini lagi. Allah meringankan langkahku melamar pekerjaan menjadi pengajar di salah satu bimbel di kota medan. Dan minggu depan akan ada pelatihan terlebih dahulu mengajar di bimbel dari senior, dan jadwal santaiku akan menjadi jadwal yang paling sibuk nantinya.

Tan Malaka dan Pilihan - One Day One Page


Page 7

Paramita Abdurrachman adalah wanita yang tidak pernah kecewa. Ia malah menilai Tan Malaka adalah pria yang jujur.

Pagi itu aku keluar rumah tidak hanya untuk memenuhi undangan interview suatu bimbingan belajar, tapi juga untuk memburu buku yang tidak lama baru kutahu dan ingin kubaca. Dua cabang Gramedia kusambangi hanya untuk menemukan buku Diarysally yang ujung-ujungnya batal kubeli.

Gramedia Gajah Mada. Setelah berkeliling dan berhenti di mesin pencari, ternyata stock Diarysally kosong. Aku pun bingung ingin membeli buku apa. Aku terlalu tergila-gila pada buku, sehingga sulit bagiku untuk bisa memilih tanpa ada rencana dahulu. Atau bisa jadi aku ingin membeli mereka semua, tapi apa daya freelance seperti ku mana mungkin bisa membeli buku sebanyak nafsuku. Paling tidak seminggu sekali aku bisa beli buku karena uang jajan dari orang tua. Mungkin bagi beberapa orang itu lebih lumayan, bisa membeli buku seminggu sekali. Itulah aku, penghasilan seadanya, tapi pengeluaran sebiesar-besarnya hahaha,,,dasar pemboros. Tapi tunggu, uang jajanku hanya dihabiskan kalau tidak untuk buku, nonton, makan, atau sedekah. Buatku itu cukup bermanfaat.

Menyadari stock Diarysally ternyata kosong disini, aku pun berkeliling ke rak novel. Dee. Penulis ternama yang redaksinya selalu kusuka. Entah darimana pengalaman hidupnya bermula sehingga bisa menulis dengan indah. Luar biasa. Kuterlusuri lagi satu-satu novel berseri lima, supernova, dkk.

Belum juga kuputuskan untuk membeli apa. Aku beranjak lagi ke rak buku islami, Felix Xiau. Putusin aja! Judul yang sudah lama nangkring di Gramedia, tapi kurang lebih aku tahulah ustadz Felix akan bercerita apa jadi sudah sekian lama aku memang belum berencana membelinya. Aku putuskan untuk mencari Diarysally di cabang Santika.

Sebelum aku benar-benar keluar dari sini, aku beranjak ke rak politik. Beberapa nama orang besar menjadi suguhan biografi. Pak Karni Ilyas, Jokowi, Dahlan, Ahok, buk Susi, dan Tan Malaka yang paling enak disebutkan. Melihat nama Tan Malaka aku ingat seorang teman yang sangat mengagumi beliau. Tapi aku memang tidak menanyakan sebabnya, aku hanya berpura-pura tau siapa Tan Malaka itu. Aku sentuh bukunya yang berjudul Madilog. Berwarna merah. Tapi nama dan judul itu benar sangat terdengar asing. Aku beralih ke biografi Karni Ilyas. Tak berapa lama memabaca, aku putuskan untuk benar-benar mencari Diarysally saja di Santika.

Sampai di Santika aku langsung menuju mesin pencari, aku tak mau buang waktu lagi, capek juga ternyata seharian membaca sambil berdiri. Membaca di kamar sambil tiduran lebih asik.

Alhamdulillah Diarysally ada 6 stock, tapi aku tidak tau ada di rak mana. Yang langsung terbesit adalah rak buku islami. Tiga kali putaran buku itu tak tampak juga. Aku gunakan lagi mesin pencari, siapa tau ada petunjuk rak mana yang bisa langusng kusinggahi. Ternayta tidak ada. Aku kembali mengelilingi rak buku islami pun tak ketemu. Aku mulai capek. Tapi aku penasaran. Kutelusuri lagi pelan-pelan, fiuh dapat! Dua stock dengan posisi buku menyamping, yang terlihat hanya bagian pinggir cover. Pantesan gak kelihatan dari tadi. Hahaha, sebagai freelance kere, aku langsung cek harga di halaman belakang buku. Seratus ribu sekian. Apa?! Fullcolor sih memang. Kucoba baca testimoni di sampul belakang. Ternyata kumpulan cerita pejuang hijab. Kurang lebih ceritanya tentang orang-orang yang akan istiqomah mengenakan hijabnya. Aku langsung meletakkan buku itu kembali ke raknya. Harganya terlalu mahal. Dan kali ini aku benar-benar bingung mau beli buku apa.

Biasanya ke toko buku selalu punya list buku yang akan dicari atau dibeli, tapi kali ini tidak. Aku berkeliling lagi siapa tau ada buku bagus. Aku tidak terlalu menginginkan novel, juga tidak nonfiksi. Apa saja yang menarik, informatif dan ekonomis, hehehe. Jujur aku menyenangi bacaan apa saja. Tapi memang butuh kata kebetulan untuk memulai sesuatu.

Sampailah di rak novel lagi. Dee benar-benar membuatku berpikir panjang untuk memutuskan Madre sebagai pilihanku. Kumpulan 13 prosa Dee, dan aku akan belajar bagaimana Dee menggunakan kemampuan berbahasanya dalam buku mungil ini. Sudah kutenteng untuk kubawa ke kasir.

Sebentar. Sengaja aku membuka ponsel, karena sedari tadi bergetar tanda pesan masuk. Ternyata, Broadcast dari online shop kakakku. Aku letakkan Madre di tumpukan buku di depan aku berdiri. Dan berganti memegangi ponsel. Aku memabca isi broadcast sambil diiringi getaran pemberitahuan lain di ponsel. Katanya beberapa orang mengomentari foto yang menandai anda. Aku pun beralih ke pemebritahuan itu di facebook. Aku tidak begitu tertarik melihat komentarnya, tapi aku langsung membuka beranda sosmedku. Dan, ada satu status yang selalu muncul pertama belakangan ini ketika pemiliknya meng-update status. Ya seseorang yang baru kusadari ia juga mengagumi Tan Malaka, temannya laki-laki yang diawal kusebut sebagai pengagum Tan Malaka juga.

Ia berceloteh tentang Tan Malaka. Entah ada angin apa. Aku pun mempercepat langkahku ke rak buku Politik/Sosial. Ia berceloteh tentang Madilog. Ya, aku temui buku itu karangan Tan Malaka. Aku masih menjinjing Madre. Aku pun mencoba menghubungkan itu semua. Di saat aku bingung harus membeli buku apa, secara tidak langsung ia,,,ah sudahlah. Kubaca sedikit siapa itu Tan Malaka. Yang aku tau ia seorang nasionalis. Tapi aku tidak tau betul siapa dia. Malah aku pikir Tan Malaka itu seorang sastrawan. Hihihii, bodohnya aku.

Aku tidak langsung memilih Madilog sebagai bacaannku, selain harganya sebanding dengan tebalnya buku itu, laki-laki yang kusebut diatas juga memperingatkan untuk berhati-hati membaca Madilog, karena itu buku tentang pemikiran, ya pemikiran Materialisme, Dialektika dan Logika. Belum lagi status yang beredar bahwa Tan Malaka sebagai revolusioner kiri dan sangat berbahaya. Namanya sempat dihapus dari buku-buku pelajaran sejarah pada masa orde baru.

Aku pun mengembalikan Madre ke raknya dan membawa Misteri Kematian Tan Malak menuju kasir.

Semua bisa berubah begitu cepat. Aku tidak tau status itu dengan apa yang aku cari apa memang ada hubungannya atau tidak, aku pun tidak tau. Tapi ada sejarah yang aku dapat. Karena ada istilah mengatakan ‘bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati para pahlawan, para pejuang dan para pendahulunya.’ Itulah alasan paling kuat. Terima kasih pemuda yang menghormati pahlawan, pejuang dan pendahulunya.

Mungkin kalian bertanya mengapa ada Paramita Abdurrachman di awal cerita. Jawabnya, karena ada Tan Malaka.