Kamis, 08 Oktober 2015

Kemeja-Kemeja Lama

Taraaa, ini kemeja kesukaanku. Warna dan style-nya aku banget deh. Ni kemeja bahan katun. Aku gak terlalu tau detailnya gimana, secara katun ada jenisnya lagi kan. Yang pasti ni katun tebal deh, adem, nyaman dipake keluar rumah atau pun di dalam rumah. Tapi karena panjangnya kurang memenuhi syarat sebagai baju yang biasa aku pake keluar rumah, ini kemeja cuma dipake di rumah aja.

Kemeja dengan brand Charge Renown ini cukup awet. Padahal aku beli sekitar tiga tahun lalu dan sering banget aku pake tapi yah gitu-gitu aja. Paling kekecilan atau kebesaran kalau badan aku juga nambah atau kurang kilonya. Hehehehe.

Dan hahahha, buat pertama dan terakhir kalinya ‘mungkin’ wkwkwk itu kemeja hasil blusukan di MONZA. Yup, baru kali itu aku bergelut, nyumpel-nyumpel, grasak-grusuk hanya demi baju-baju yang gak bisa aku dapatkan di katakanlah toko baju di kota ini.

Sampai sekarang sih aku gak pernah lagi kesana, karena gak ada yang nemanin juga. Jadi ceritanya waktu itu karena ada liputan tentang eksistensi Monza, jadilah saya dan junior saya di organisasi kampus blusukan, dan pulangnya bawa kiloan baju monza. Tapi yang paling awet ya kemeja-kemeja ini.

Kalau yang ini katun nuansa lee, udah keliatan pudar. Tapi lucu aja untuk dipake. Suka.

Hahhaa, silakeun dilihat lagi fotonya. Apa seleraku cukup bagus? Wkwkwk atau kalian sama sekali ngebatin ‘ni anak seleranya payah euy.’ Whateverlah, this is me. :D
Akunya emang beda banget kalau di luar sama di dalam rumah.


Gokil Moment

Cukup surprise menemukan beberapa video yang untungnya gak aku hapus. Gimana gak surprise, di hari yang super ngebosanin ini karena seharian di rumah tanpa jadwal ngajar dan diskusi di bimbel, aku dikejutkan dengan video gak begitu gokil sih, tapi seruuu. Ni kejadiannya beberapa bulan lalu. Check it out deh.
Sempat terjadi beberapa take. But it's funny.
and this is the last in The Giant Kuan In Tample.

Video ini dibuat karena akunya sebagai tamu kepingin diajak keliling kota Siantar. Tapi karena kendaraan gak ada serta waktu yang sempit, gokilnya kami buat video ini. Toh, judulnya Keliling Siantar. Apa boleh buat deh.

Gantian Jannah yang ke Medan. Waktu itu katanya dia kepingin makan mie ayam, singgahlah kami ke warung mie ayam pinggir jalan. Saking lamanya si abang tukang mie, jadi kita inisiatif buat video ini. Boleh la dinilai siapa yang paling gak kekinian alias gak khatam ngegayain monyong ikan Hoki.
Hahahaha, dan sebenarnya backsound itu aku gak ngerti ntah dari mana. Yang jelas kami gak ada mainin musik dari handphone. Tetiba hasilnya gitu aja wkkwkw

Waktu itu juga lagi musim-musimnya 'Don't Judge Me Challange' kan, we also took the video, and the result is....messy ahahahhahah. Chek this out and bye bye...
See you on the next diary life :*


Rabu, 07 Oktober 2015

Kegilaan Jerawat

Perempuan itu gila. Lebih dari sekedar gila. Pagi tadi ia menyanyi, menari, lalu senyum-senyum sendiri. okelah, mungkin semua orang melakukan itu, tapi ada yang paling tidak bisa ditawar lagi. Ia melakukan semua itu karena tiga jerawat matang yang ada di wajahnya.

Bayangkan, seorang perempuan dengan jerawat di wajah dan jumlahnya tiga. Oh god! Pasti sedih! Pasti uring-uringan. Pasti mencari cara bagaimana menghilangkannya. Tapi sudah kuperhatikan satu malam ini dia malah menyanyi, menari, dan senyum-senyum memandangi jerawat yang satu di pipinya dan dua lagi di keningnya.

Belum cukupkah fakta itu membuatmu juga berfikir perempuan ini gila. Tadi malam ia bilang kepadaku, “Sudah lama gak tumbuh jerawat. Mungkin ada setahun dua tau tiga kali jerawatan. Hari ini ada tiga pula. Cantik.” Ia tersenyum lagi sambil terus memperlihatan jerawatnya kepadaku.

Berbeda dengan perempuan berkaca mata yang sering juga wara-wiri di depanku. Ia pernah mengeluh tentang jerawat, ia kesal. Kadang dikorek-koreknya jerawat itu sampai warnanya merah sekali, yang sebelumnya timbul malah mengempis lalu mengeluarkan darah sedikit.

Tapi perempuan ini, yang kubilang gila itu, sepertinya menjaga betul jerawatnya. Dia minta aku bantu mencarikan mana lagi calon-calon jerawat selanjutnya. Dia bilang ia tambah manis dengan jerawat di wajahnya. Aku diam saja. Membatin, ‘memang sudah Gila...’

Aku pernah melihat orang berkata kalau jerawat itu timbul karena banyak faktor. Bisa jadi karena seseorang stress, terlalu banyak makan kacang atau coklat, alergi kosmetik, polusi udara, atau malas cuci muka. Bisa jadi salah satu faktor itu yang mempengaruhi jerawat tumbuh di wajah perempuan itu.

Tunggu saja beberapa menit lagi. Biasanya ia pulang saat petang seperti ini. Pasti ia akan terus menjumpaiku dan melakukan rutinitasnya, menyanyi sambil menari sedikit lalu menunjukkan jerawat kesayangannya tepat dihadapanku. Entah apa rasanya punya jerawat di wajah. Euy.

Brakk. Tasnya setengah dilemparkannya ke lantai kamar. Perempuan yang tengah kita bincangkan tadi pulang. Ia mendekatiku. Aku sudah tau, pasti masih tentang jerawat. Tapi raut wajahnya berbeda. Ada kesal di dalamnya. Dia bilang, “Kok cepat kali hilangnya?” sambil menunjukkan wajahnya dengan jerawat yang mulai mengempis. Di dalam hati aku berkata, ‘bagus dong.’ Sekali lagi disodorkannya wajahnya ke hadapanku. “Hm, emang dasar gennya begini.” Ia memegangi wajahnya sambil terus menatapku.

Tiba-tiba adiknya, si perempuan berkaca mata masuk.
“Met, udah ilang jerawatku. Cepat kali pun.”
“Ya baguslah.”
“Ah gak seru. Kan kepingin punya jerawat.”
“Ada kurang-kurangnya....” sambil melengos keluar kamar lagi.

Mungkin ia punya makna lain di balik jerawat. Mungkin baginya jerawat adalah tanda.  Tapi tanda apa? Tanda kalau ia stres? Terlalu banyak makan kacang dan coklat? Alergi kosmetik? Polusi udara atau karena ia malas cuci muka? Hahaha atau ada tanda lain? Kan sudah kubilang dia Gila.

Senin, 05 Oktober 2015

Kecoa dan Prosa


Malam ini aku ingin keluar dari persembunyian. Terbang dari kain satu ke kain lain, hinggap dari satu benda ke banda lain. Kamar ini cukup lembap, penuh dengan gantungan, entah itu gantungan baju, handuk, jaket, dan beberapa gantungan tas. Aku cukup betah disini.

Biasanya ada seorang wanita yang sibuk setiap malam mengetik sesuatu. Kadang aku geli membacanya, sesuatu yang diketiknya itu, kadang pun haru sedu sedan. Tapi malam ini dia tidur lebih cepat, dan seperti biasa laptopnya masih menyala. Selanjutnya akulah yang menjadi pembaca pertama setiap kali ia mmmm mungkin curhat dengan laptopnya.
***

Aku takut cerita ini menjadi cerita yang persis dengan prosa milik Dee “Sikat Gigi”. Aku menemukan pesan mengerikan setelah suara PING bertubi-tubi membuat pemberitahuan penuh.

Sesekali aku kesal dengan pertemuan dan perbincangan yang bagimu adalah cara menyadarkanku akan eksistensimu, dan bagiku adalah cara empati yang bisa kau dapat sebagai perantau di kotaku.

Lagi-lagi kukatakan, aku takut prosa Dee menjadi kenyataan. Aku tidak mau.
Malam dimana aku benci menerima pesan itu. Garing dan membosankan. Silakan lah mengelak jika kau baca prosaku. Ini cukup membantumu dari pada rasa malu yang kau hadapakan jika bertemu denganku nanti.

Aku tau kita sudah dewasa, tapi bagiku itu bukan cara yang dewasa. Aku tau kau memikirkan dan menunggu, tapi aku tak berharap temanku berkata begitu serius kepadaku. Sudahlah. Aku mungkin ada waktu untuk sekedar diskusi dan minum kopi bersamamu. Tapi mungkin bukan komitmen setiap pagi menyediakan kopi untukmu nanti.

Aku bukan membencimu. Hanya saja mataku cukup perih dan gatal membaca pesan-pesan itu.

Sekarang bagiku sendiri adalah jawaban atas baktiku. Aku memilih untuk belajar, bekerja, membaca dan menulis sampai waktu yang ditentukan Tuhan. Banyak berkumupl bersama keluarga dan bertukar cerita dengan orang tua dan teman-teman, ya termasuklah dirimu.

Tidak hanya itu, aku pun menaruh hal yang sama pada takdir Tuhan, mungkin Tuhan tidak mengarahkan itu kepadamu tapi pada yang lain.
***

Benar kan apa kataku, kali ini aku kedapatan bagian lara dari hidupnya. Malam ini ia sedang tak berselera dengan lawan chattingnya, dan memilih tidur lebih awal.

Aku masih di meja, aku lihat seorang laki-laki melengos ke kamar. Cukup berumur. Ia sepertinya hendak masuk ke kamar. Aku bersembunyi ke belakang meja. Berdiam beberapa jeda. Kudengar tangannya menekan tombol lampu tidur yang ada diatas meja. Kira-kira tak ada lagi baunya, aku kembali ke permukaan. Laki-laki itu meninggalkan kamar sambil mematikan lampu utama. Gelap bagi manusia. Tapi bagiku sama saja.

Minggu, 04 Oktober 2015

Maaf


Aku merasakan kemarahan itu dari huruf yang tengah kau ketik. Terasa panas, pahit dan sempat membuat pitamku naik. Aku pun mau membalas kemarahanmu, tapi memang lah aku dalang dari kemarahan yang sampai saat ini belum juga reda kulihat.

Tiba-tiba kita menghilang dalam megahnya pesta kemarin malam. Ada kalimat yang aku fikir tak pantas dilontarkan. Ibarat kue tart indah yang kau lempar mentah-mentah di mukaku di hadapan banyak orang. Tapi terkadang kita pura-pura lupa, dan berusaha meraih serbet bersih menyeka cream yang sebenarnya dijilat saja akan bersih, saking enaknya untuk kutelan sendiri.

Ada satu hal yang tak banyak orang tau. Termasuklah dirimu yang menjadi korban tutup mulutku. Aku pikir kau tau betul dari caraku menyuapkan potongan kue tart, tapi ternyata mulutmu menganga lebih lebar dari suapan itu sendiri. Sehingga angin pun masuk memenuhi mulut di perutmu. Kulihat kau masuk angin, merungkik, kau pukul-pukul perutmu sendiri, menjerit meminta angin itu segera keluar. Bau memang.

Apa angin yang keluar itu sudah menyembuhkan mu atau masih ada sisa di dalam perutmu?

Kau bersendawa sejadi-jadinya. Mungkin belum sembuh total. Masih ada angin yang berseliweran di dalam. Aku tau itu cukup menyiksa, boleh aku bantu dengan minyak gosok atau mengerok punggungmu, walau tak mungkin rasanya.

Kau pergi, diam-diam sambil memegangi rasa sakit. Aku tau itu sakit, tapi untuk apa merasa sakit. Bukankah itu salah satu skenario yang paling bisa diterima dari begitu banyak kisah di dunia ini. Kau terus menunduk, entah karena sakit atau mencari jalan-jalan setapak mengasingkan diri. Kubiarkan saja. Aku diam. Aku tidak tau harus berbuat apa.

Malam itu terlewati lebih dari bermalam-malam. Tak ada pesta megah, kue tart dan ritual masuk angin. Yang ada hanya kelatnya cream yang kujilati belum hilang penuh.

Jumat, 02 Oktober 2015

Kebohonganmu Spekulasiku

Marah. Aku masih marah. Aku pun kecewa. Entah apa yang membuatku kecewa. Aku tak begitu paham apa yang tengah terjadi. Tapi aku marah, sekaligus kecewa. Aku merasa dibohongi, tapi...

Perih rasanya. Untung saja aku laki-laki, air mata tak mudah meleleh dari ekor mata. Tapi lucu juga rasanya mengapa aku bisa sekecewa ini.

Aku pikir dengan menggali rasa penasaranku aku akan temukan harta yang paling kuingini. Bodoh! Aku kecewa. Aku marah.

Waktu itu aku terlalu bersemangat, aku  memang perlu semua tentangnya. Lalu zonk bertubi-tubi dijejali padaku yang mustahil rasanya dengan apa yang aku rasa selama ini.

Cepat aku bisa merespon itu, tapi apa aku kurang akurat? Atau aku terlalu tergesa-gesa. Atau kau lah yang memang dalang dari berkecamuknya perasaan.

Perempuan. Kejam. Pembohong.

Lagu yang tengah kuputar mengingat tragedi itu. Tragedi dimana aku benci untuk mencintaimu.
Aku tak tahu apa yang terjadi, antara aku dan kau.
Yang kutau pasti, ku benci untuk mencintaimu.
Dan aku tak tau apa yang terjadi, antara aku dan kau
Yang kutau pasti ku benci untuk mencintaimu.

Sudah kubilang, aku masih marah, kecewa. Jarak ini cukup membantuku. Tapi apa memang itulah penyebabnya. Penyebab yang aku sendiri malu untuk mengakuinya. Perempuan itu, argh.

Aku ingin penjelasan yang kau janjikan malam itu. Tapi aku pun bodoh tak mengingatkan. Apa dia lupa? jika benar lupa, itu artinya dia juga lupa dengan ku. Itu mungkin bisa menjawab. Jelas. Apa aku masih marah? Kecewa? Atau belum jelas?

‘Hei, apa yang tengah kau bicarakan?’

Perempuan itu membohongiku. Ia berdalih ‘tidak’. Tapi aku sudah kecewa. Kumakan mentah-mentah spekulasiku. Dan membiarkan semua hilang menjadi sebuah kebohongan besar. Kebohongan seorang perempuan terhadap laki-laki sepertiku. Aku masih dikuasai marahku. Aku masih menganggapnya seorang pembohong. Dan, masih berharap ia menepati janjinya...