Marah. Aku masih marah.
Aku pun kecewa. Entah apa yang membuatku kecewa. Aku tak begitu paham apa yang
tengah terjadi. Tapi aku marah, sekaligus kecewa. Aku merasa dibohongi, tapi...
Perih rasanya. Untung saja
aku laki-laki, air mata tak mudah meleleh dari ekor mata. Tapi lucu juga
rasanya mengapa aku bisa sekecewa ini.
Aku pikir dengan
menggali rasa penasaranku aku akan temukan harta yang paling kuingini. Bodoh! Aku
kecewa. Aku marah.
Waktu itu aku terlalu
bersemangat, aku memang perlu semua
tentangnya. Lalu zonk bertubi-tubi dijejali padaku yang mustahil rasanya dengan
apa yang aku rasa selama ini.
Cepat aku bisa merespon
itu, tapi apa aku kurang akurat? Atau aku terlalu tergesa-gesa. Atau kau lah
yang memang dalang dari berkecamuknya perasaan.
Perempuan. Kejam. Pembohong.
Lagu yang tengah
kuputar mengingat tragedi itu. Tragedi dimana aku benci untuk mencintaimu.
Aku tak
tahu apa yang terjadi, antara aku dan kau.
Yang kutau
pasti, ku benci untuk mencintaimu.
Dan aku
tak tau apa yang terjadi, antara aku dan kau
Yang kutau
pasti ku benci untuk mencintaimu.
Sudah kubilang, aku
masih marah, kecewa. Jarak ini cukup membantuku. Tapi apa memang itulah
penyebabnya. Penyebab yang aku sendiri malu untuk mengakuinya. Perempuan itu,
argh.
Aku ingin penjelasan
yang kau janjikan malam itu. Tapi aku pun bodoh tak mengingatkan. Apa dia lupa?
jika benar lupa, itu artinya dia juga lupa dengan ku. Itu mungkin bisa
menjawab. Jelas. Apa aku masih marah? Kecewa? Atau belum jelas?
‘Hei, apa yang tengah
kau bicarakan?’
Perempuan itu
membohongiku. Ia berdalih ‘tidak’. Tapi aku sudah kecewa. Kumakan mentah-mentah
spekulasiku. Dan membiarkan semua hilang menjadi sebuah kebohongan besar. Kebohongan
seorang perempuan terhadap laki-laki sepertiku. Aku masih dikuasai marahku. Aku
masih menganggapnya seorang pembohong. Dan, masih berharap ia menepati
janjinya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar