Minggu, 04 Oktober 2015

Maaf


Aku merasakan kemarahan itu dari huruf yang tengah kau ketik. Terasa panas, pahit dan sempat membuat pitamku naik. Aku pun mau membalas kemarahanmu, tapi memang lah aku dalang dari kemarahan yang sampai saat ini belum juga reda kulihat.

Tiba-tiba kita menghilang dalam megahnya pesta kemarin malam. Ada kalimat yang aku fikir tak pantas dilontarkan. Ibarat kue tart indah yang kau lempar mentah-mentah di mukaku di hadapan banyak orang. Tapi terkadang kita pura-pura lupa, dan berusaha meraih serbet bersih menyeka cream yang sebenarnya dijilat saja akan bersih, saking enaknya untuk kutelan sendiri.

Ada satu hal yang tak banyak orang tau. Termasuklah dirimu yang menjadi korban tutup mulutku. Aku pikir kau tau betul dari caraku menyuapkan potongan kue tart, tapi ternyata mulutmu menganga lebih lebar dari suapan itu sendiri. Sehingga angin pun masuk memenuhi mulut di perutmu. Kulihat kau masuk angin, merungkik, kau pukul-pukul perutmu sendiri, menjerit meminta angin itu segera keluar. Bau memang.

Apa angin yang keluar itu sudah menyembuhkan mu atau masih ada sisa di dalam perutmu?

Kau bersendawa sejadi-jadinya. Mungkin belum sembuh total. Masih ada angin yang berseliweran di dalam. Aku tau itu cukup menyiksa, boleh aku bantu dengan minyak gosok atau mengerok punggungmu, walau tak mungkin rasanya.

Kau pergi, diam-diam sambil memegangi rasa sakit. Aku tau itu sakit, tapi untuk apa merasa sakit. Bukankah itu salah satu skenario yang paling bisa diterima dari begitu banyak kisah di dunia ini. Kau terus menunduk, entah karena sakit atau mencari jalan-jalan setapak mengasingkan diri. Kubiarkan saja. Aku diam. Aku tidak tau harus berbuat apa.

Malam itu terlewati lebih dari bermalam-malam. Tak ada pesta megah, kue tart dan ritual masuk angin. Yang ada hanya kelatnya cream yang kujilati belum hilang penuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar