Aku merasakan kemarahan itu dari huruf yang
tengah kau ketik. Terasa panas, pahit dan sempat membuat pitamku naik. Aku pun
mau membalas kemarahanmu, tapi memang lah aku dalang dari kemarahan yang sampai
saat ini belum juga reda kulihat.
Tiba-tiba kita menghilang dalam megahnya pesta
kemarin malam. Ada kalimat yang aku fikir tak pantas dilontarkan. Ibarat kue
tart indah yang kau lempar mentah-mentah di mukaku di hadapan banyak orang. Tapi
terkadang kita pura-pura lupa, dan berusaha meraih serbet bersih menyeka cream
yang sebenarnya dijilat saja akan bersih, saking enaknya untuk kutelan sendiri.
Ada satu hal yang tak banyak orang tau. Termasuklah
dirimu yang menjadi korban tutup mulutku. Aku pikir kau tau betul dari caraku
menyuapkan potongan kue tart, tapi ternyata mulutmu menganga lebih lebar dari
suapan itu sendiri. Sehingga angin pun masuk memenuhi mulut di perutmu. Kulihat
kau masuk angin, merungkik, kau pukul-pukul perutmu sendiri, menjerit meminta
angin itu segera keluar. Bau memang.
Apa angin yang keluar itu sudah menyembuhkan mu
atau masih ada sisa di dalam perutmu?
Kau bersendawa sejadi-jadinya. Mungkin belum
sembuh total. Masih ada angin yang berseliweran di dalam. Aku tau itu cukup
menyiksa, boleh aku bantu dengan minyak gosok atau mengerok punggungmu, walau
tak mungkin rasanya.
Kau pergi, diam-diam sambil memegangi rasa
sakit. Aku tau itu sakit, tapi untuk apa merasa sakit. Bukankah itu salah satu
skenario yang paling bisa diterima dari begitu banyak kisah di dunia ini. Kau terus
menunduk, entah karena sakit atau mencari jalan-jalan setapak mengasingkan diri.
Kubiarkan saja. Aku diam. Aku tidak tau harus berbuat apa.
Malam itu terlewati lebih dari bermalam-malam. Tak
ada pesta megah, kue tart dan ritual masuk angin. Yang ada hanya kelatnya cream
yang kujilati belum hilang penuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar