Rabu, 09 September 2015

Tan Malaka dan Pilihan - One Day One Page


Page 7

Paramita Abdurrachman adalah wanita yang tidak pernah kecewa. Ia malah menilai Tan Malaka adalah pria yang jujur.

Pagi itu aku keluar rumah tidak hanya untuk memenuhi undangan interview suatu bimbingan belajar, tapi juga untuk memburu buku yang tidak lama baru kutahu dan ingin kubaca. Dua cabang Gramedia kusambangi hanya untuk menemukan buku Diarysally yang ujung-ujungnya batal kubeli.

Gramedia Gajah Mada. Setelah berkeliling dan berhenti di mesin pencari, ternyata stock Diarysally kosong. Aku pun bingung ingin membeli buku apa. Aku terlalu tergila-gila pada buku, sehingga sulit bagiku untuk bisa memilih tanpa ada rencana dahulu. Atau bisa jadi aku ingin membeli mereka semua, tapi apa daya freelance seperti ku mana mungkin bisa membeli buku sebanyak nafsuku. Paling tidak seminggu sekali aku bisa beli buku karena uang jajan dari orang tua. Mungkin bagi beberapa orang itu lebih lumayan, bisa membeli buku seminggu sekali. Itulah aku, penghasilan seadanya, tapi pengeluaran sebiesar-besarnya hahaha,,,dasar pemboros. Tapi tunggu, uang jajanku hanya dihabiskan kalau tidak untuk buku, nonton, makan, atau sedekah. Buatku itu cukup bermanfaat.

Menyadari stock Diarysally ternyata kosong disini, aku pun berkeliling ke rak novel. Dee. Penulis ternama yang redaksinya selalu kusuka. Entah darimana pengalaman hidupnya bermula sehingga bisa menulis dengan indah. Luar biasa. Kuterlusuri lagi satu-satu novel berseri lima, supernova, dkk.

Belum juga kuputuskan untuk membeli apa. Aku beranjak lagi ke rak buku islami, Felix Xiau. Putusin aja! Judul yang sudah lama nangkring di Gramedia, tapi kurang lebih aku tahulah ustadz Felix akan bercerita apa jadi sudah sekian lama aku memang belum berencana membelinya. Aku putuskan untuk mencari Diarysally di cabang Santika.

Sebelum aku benar-benar keluar dari sini, aku beranjak ke rak politik. Beberapa nama orang besar menjadi suguhan biografi. Pak Karni Ilyas, Jokowi, Dahlan, Ahok, buk Susi, dan Tan Malaka yang paling enak disebutkan. Melihat nama Tan Malaka aku ingat seorang teman yang sangat mengagumi beliau. Tapi aku memang tidak menanyakan sebabnya, aku hanya berpura-pura tau siapa Tan Malaka itu. Aku sentuh bukunya yang berjudul Madilog. Berwarna merah. Tapi nama dan judul itu benar sangat terdengar asing. Aku beralih ke biografi Karni Ilyas. Tak berapa lama memabaca, aku putuskan untuk benar-benar mencari Diarysally saja di Santika.

Sampai di Santika aku langsung menuju mesin pencari, aku tak mau buang waktu lagi, capek juga ternyata seharian membaca sambil berdiri. Membaca di kamar sambil tiduran lebih asik.

Alhamdulillah Diarysally ada 6 stock, tapi aku tidak tau ada di rak mana. Yang langsung terbesit adalah rak buku islami. Tiga kali putaran buku itu tak tampak juga. Aku gunakan lagi mesin pencari, siapa tau ada petunjuk rak mana yang bisa langusng kusinggahi. Ternayta tidak ada. Aku kembali mengelilingi rak buku islami pun tak ketemu. Aku mulai capek. Tapi aku penasaran. Kutelusuri lagi pelan-pelan, fiuh dapat! Dua stock dengan posisi buku menyamping, yang terlihat hanya bagian pinggir cover. Pantesan gak kelihatan dari tadi. Hahaha, sebagai freelance kere, aku langsung cek harga di halaman belakang buku. Seratus ribu sekian. Apa?! Fullcolor sih memang. Kucoba baca testimoni di sampul belakang. Ternyata kumpulan cerita pejuang hijab. Kurang lebih ceritanya tentang orang-orang yang akan istiqomah mengenakan hijabnya. Aku langsung meletakkan buku itu kembali ke raknya. Harganya terlalu mahal. Dan kali ini aku benar-benar bingung mau beli buku apa.

Biasanya ke toko buku selalu punya list buku yang akan dicari atau dibeli, tapi kali ini tidak. Aku berkeliling lagi siapa tau ada buku bagus. Aku tidak terlalu menginginkan novel, juga tidak nonfiksi. Apa saja yang menarik, informatif dan ekonomis, hehehe. Jujur aku menyenangi bacaan apa saja. Tapi memang butuh kata kebetulan untuk memulai sesuatu.

Sampailah di rak novel lagi. Dee benar-benar membuatku berpikir panjang untuk memutuskan Madre sebagai pilihanku. Kumpulan 13 prosa Dee, dan aku akan belajar bagaimana Dee menggunakan kemampuan berbahasanya dalam buku mungil ini. Sudah kutenteng untuk kubawa ke kasir.

Sebentar. Sengaja aku membuka ponsel, karena sedari tadi bergetar tanda pesan masuk. Ternyata, Broadcast dari online shop kakakku. Aku letakkan Madre di tumpukan buku di depan aku berdiri. Dan berganti memegangi ponsel. Aku memabca isi broadcast sambil diiringi getaran pemberitahuan lain di ponsel. Katanya beberapa orang mengomentari foto yang menandai anda. Aku pun beralih ke pemebritahuan itu di facebook. Aku tidak begitu tertarik melihat komentarnya, tapi aku langsung membuka beranda sosmedku. Dan, ada satu status yang selalu muncul pertama belakangan ini ketika pemiliknya meng-update status. Ya seseorang yang baru kusadari ia juga mengagumi Tan Malaka, temannya laki-laki yang diawal kusebut sebagai pengagum Tan Malaka juga.

Ia berceloteh tentang Tan Malaka. Entah ada angin apa. Aku pun mempercepat langkahku ke rak buku Politik/Sosial. Ia berceloteh tentang Madilog. Ya, aku temui buku itu karangan Tan Malaka. Aku masih menjinjing Madre. Aku pun mencoba menghubungkan itu semua. Di saat aku bingung harus membeli buku apa, secara tidak langsung ia,,,ah sudahlah. Kubaca sedikit siapa itu Tan Malaka. Yang aku tau ia seorang nasionalis. Tapi aku tidak tau betul siapa dia. Malah aku pikir Tan Malaka itu seorang sastrawan. Hihihii, bodohnya aku.

Aku tidak langsung memilih Madilog sebagai bacaannku, selain harganya sebanding dengan tebalnya buku itu, laki-laki yang kusebut diatas juga memperingatkan untuk berhati-hati membaca Madilog, karena itu buku tentang pemikiran, ya pemikiran Materialisme, Dialektika dan Logika. Belum lagi status yang beredar bahwa Tan Malaka sebagai revolusioner kiri dan sangat berbahaya. Namanya sempat dihapus dari buku-buku pelajaran sejarah pada masa orde baru.

Aku pun mengembalikan Madre ke raknya dan membawa Misteri Kematian Tan Malak menuju kasir.

Semua bisa berubah begitu cepat. Aku tidak tau status itu dengan apa yang aku cari apa memang ada hubungannya atau tidak, aku pun tidak tau. Tapi ada sejarah yang aku dapat. Karena ada istilah mengatakan ‘bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati para pahlawan, para pejuang dan para pendahulunya.’ Itulah alasan paling kuat. Terima kasih pemuda yang menghormati pahlawan, pejuang dan pendahulunya.

Mungkin kalian bertanya mengapa ada Paramita Abdurrachman di awal cerita. Jawabnya, karena ada Tan Malaka.

2 komentar: