Ada yang terusik gak relung hati dan sanubarinya hehehe jika membaca kalimat
berikut:
Mencari ilmu dan nikah tak harus dipilih salah satu dan mengabaikan yang lain. Karena keduanya sama-sama mulia. Tak mungkin Allah memerintahkan hal yang mulia namun saling berbenturan antara yang satu dengan yang lain. Insya Allah mencari ilmu dan melaksanakan nikah bisa saling beriringan. Bahkan bisa saling melancarkan satu sama lain. Menuntut ilmu bisa menjadi lebih bergairah dengan adanya kekasih halal yang mendampingi. Menikah pun terasa nikmat dengan aktivitas intens dalam menuntut ilmu.
Kalimat berikut bisa kamu baca di halaman 51 buku Rifa’i
Rif’an yang judulnya Allah, Inilah
Proposal Cintaku. Jangan ngenes ya kalau baca yang begituan, anggap kita
sedang belajar. Karena pasti kita-kita punya niatan membina rumah tangga dengan
seseorang nanti.
Jujur, aku sendiri sedang menyelesaikan studi S2, dan sudah
memasuki umur yang katakanlah setiap ketemu orang di kondangan akan ditanyai “Kapan
nikah?” bukannya “Kapan wisuda?” hehehe. Tapi minta didoakan saja semua akan
terlaksana pada waktunya.
Dalam proses penyelesaian studi yang kalau orang bilang S1
itu mirip-mirip wajib, kalau S2 ada yang bilang sunnah, jadi terkadang kita itu
dianggap menunda-nunda pernikahan padahal kan memang mau belajar. Ya kalau
memang ada jodohnya dan mantap, adek siap-siap aja bang. Huahahaha.
Agak diabaikan saja ya kaliamat terakhir tadi.
Buku ini sendiri sebenanrya mau menyadarkan kita bahwa
jangan mengambing hitamkan suatu ibadah. Lantas menunda dan bahkan menganggap
buruk ibadah lain. Pernah kejadian, katakanlah si fulan atau fulanah yang
menikah di masa perkuliahan. Di akhir semester malah mendapati nilai kuliahnya
hancur, seolah-olah kesibukannya sebagai suami atau istri baru adalah penyebabnya.
Lalu mulailah orang-orang di sekitar beranggapan “Itulah, entah hapa nikah
muda. Makan tuh cinta.” sebagai contoh. Please,
don’t say it. Karena bukan disebabkan pernikah hal itu terjadi. Tapi karena
kurangnya keseriusan dalam membagi waktu dan disiplin lah menjadi masalah si
pengantin baru. Kurang ilmu, tidak mau belajar dari orang-orang tua, tidak
belajar dari pengalaman-pengalaman orang-orang sebelumnya.
Kan saya jadi berasa sok tau. Hihihi.
Karena begini, ironinya banyak malah yang belum nikah pun
nilai kuliahnya lebih-lebih hancur dari yang sudah menikah. Nah kalau yang
begini siapa lah yang kita jadikan kambing hitam? Nikah belum, uang jajan masih
dari ortu, baju aja masih dicuciin tukang cuci. Agak susah kita cari kambing
hitamnya haha, ya ujung-ujungnya manajemen diri sendiri sih yang harus dikacain
gede-gede.
Gimana, ada yang ntar setelah selesai semester
ini terus mau lanjut ke pelaminan? Pantaskan diri, persiapkan. Belajar! Kalau kamu
sanggup belajar dunia bertahun-tahun (S1, S2, S3) dan menghabiskan uang spp
berjeti-jeti, masak belajar akhirat alias ngaji gratis ke majelis ta’lim
minimal seminggu sekali untuk khatamkan bab Munakahat kok gak khatam-khatam,
gak disuruh buat thesis kok. Gimana? Tertantang?!
bang, baaang si adek udh minta lamar itu, kode keras ini :D ahahaha
BalasHapusjadi kan lu kyak edisi iklan itu, S2 ato nikah?
hayuuk barengan aja gandengan biar makin mantap mlangkahnya
Hey, tikaaaaa, si peri biru....wah ngblog juga. Senengnyaaaa :)
HapusNikahin adek baaaaang~ hahahaha
BalasHapusHahahha, kok pasrah kali gitu wkwkwkwk
HapusWaaa jd pengen baca itu buku :)
BalasHapusPlease Follow dear I'll follback ya :)
www.nabilaariani.blogspot.com
oke oke :)
Hapuspengen baca bukunya
BalasHapusSilakan mbak atau mas
Hapus