Aku
tak pernah bermimpi bertemu dengan laki-laki mirip Tionghoa ini. Sampai
akhirnya takdir tuhan menjadikanku sebagai istri keduanya.
Sama
seperti percintaan pada umumnya kami dipertemukan saat perkuliahan. Pria ini
teman sekelasku, tapi ia beda satu tahun diatasku. Badannya yang tinggi
semampai dan kulit putihnya benar-benar tak pernah kubayangkan akan menjadi
pria pendamping hidupku. Aku, berkulit gelap namun satu hal yang paling
dicintainya kepintaranku, keaktifanku dan segala kebaikan dari diriku. Tiba lah
pada harinya ia mengatakaan ingin menikah denganku.
***
Pria
ini tiba-tiba saja hadir di hidupku sebagai pembuka lembaran baru di institut.
Kami berteman baik karena rasa persaingan di kelas. Aku malu sekali saat ia menjawab
pertanyaan dosen dengan jawaban yang salah. ‘dasar bodoh’ celetukku dalam hati.
Tapi keambisiusan kami lah yang menyatukan ini semua. Mulai dari hobi hingga
cara pandang hidup semuanya sama. Lalu kami bertukar nomor ponsel. Tak ada yang
beda dengan kebiasaan pasangan lain. Smsnya selalu nangkring tanpa aku pancing
dahulu. Pria ini sangat agresif. Terus saja tanpa memberiku sedikit jeda. Hanya
saat di kelas ia tak layangkan smsnya, namun jika perkuliahan selesai
cepat-cepat rasanya ia kirimkan pesan itu walau hanya sekedar bertanya ‘sedang
apa?’ atau ‘main tebak-tebakkan yuk?’
Waktunya
terlalu singkat. Di semester yang sama, ia mulai mengirim sms yang berbau
mesra. Aku tak tau ini serius atau tidak. Ia menyelipkan sebuah pertanyaan
dalam candaannya. Yang kubalas juga dengan selera candaanku. Intinya aku jawab ‘tidak’
untuk pertanyaannya. Saat itu juga ia sedikit menjaga jarak. Aku terus bertanya
‘apa itu serius?’ mungkin jika ia serius aku juga akan serius. Tapi ia jawab
‘tidak, hanya bercanda. Aku Cuma ngetes kok, dari semua teman perempuanku yang
aku beri pertanyaan itu jawabnya iya, tapi Cuma kamu yang jawabnya tidak’ katanya.
Dasar pria pengecut!
***
Lalu
bagaimana bisa aku jadi istri keduanya? Bertahun-tahun kami di satu kelas,
bertahun-tahun itulah ia tak lagi megnirimiku sms. Hanya sekedar bertanya tugas
kuliah. Pernah di momen-momen serius aku tanya lagi, tapi tetap saja jawabannya
sama. Sampai benar-benar aku yakin ia tak sedikit pun menyimpan perasaan yang pernah
ia tuangkan dalam smsnya dulu. Mungkin memang aku yang mudah terpancing rayuan
pria mirip Tionghoa ini. mulai saat itu juga aku dan mungkin ia melupakan
saat-saat kedekatan kami. Titik. Aku juga tidak mengerti mengapa ia tak kunjung
juga ada di pikiranku saat itu.
Sekitar
dua tiga pria mendekatiku aku masih penasaran dengan sikapnya. Aku memang tak
memperdulikannya lagi tapi aku hanya ingin tau ‘apa memang benar saat itu dia
menyimpan rasa denganku?’ kalau pun memang benar aku tak berpikir untuk
bersamanya karena kesibukan perkuliahan lebih dominan di otakku dari pada
sejumlah pria-pria manis dihadapanku. Itu lah aku masa kuliah.
Satu
lagi. Kami tak pernah berpisah. Walau hatiku sudah tak ada dirinya, tetap jasad
kami selalu bersama, bahkan di setiap kesempatan. Maklum kami satu organisasi.
Dan yang terakhir kami satu kelompok KKN.
Pria
ini menghilang sejak ia putuskan untuk lebih dulu mengecap toga di kepalanya.
Aku masih sibuk mengurus beberapa nilai yang dianggap tidak cukup untuk
menyandang jubah hitam itu.
Setengah
tahun saja tak mencium baunya, aku merasa kehilangan. Keirianku dengannya
semakin membuatku ingin cepat-cepat selesaikan kuliah. Akhirnya aku selesai.
Tapi aku tak tau ia dimana, tak tau sama sekali.
Selang
satu tahun, beberapa temanku menghubungi. Mereka bertanya ‘gimana pria Tionghoa
itu? sudahnya kalian menikah?’ aku cengar-cengir mendengarnya. Mereka selalu
saja ingat masa-masa itu. Masa masa persahabatan kami berdua bagaikan sepasang
kekasih, padahal semua itu fiktif belaka bahkan ada sebagian yang kami
skenariokan hanya sekedar membuat yang lain cemburu.
***
Setahun
setelah tamat, aku mulai bekerja sebagai staf redaksi di sebuah majalah. Pengalaman
organisasi semasa kuliah dulu ternyata memberiku skill untuk bisa mengotak-atik
dunia jurnalistik. Karirku semakin memuncak. Majalah tempat aku bekerja pun
semakin populer di masyarakat. Diam-diam ternyata majalah tetangga tak kalah
populer. Sekali-sekali kulirik siapa saja staf redaksinya. Tak ada satu nama pun
yang tak asing di telingaku.
Aku
terkejut, telepon di ruanganku berdering. Katanya ada yang ingin bertemu dari
majalah lain. Maklum sekarang aku Redaktur Pelaksana siapa saja ingin bertemu
akan dengan sangat cepat difilter oleh sekretaris humas kami. Kujawab ‘ya, hari
ini kalau dia Redpel seperti ku juga. Kalau dia atasanku besok saja pukul 10.00’.
Tut, kuputuskan jaringan.
Aku di
kantor sampai larut. Masa lajang kugunakan untuk kerja keras. Rasanya ingin
mengembalikan modal orang tua walaupun tak bisa sebanyak apa yang diberikan
mereka. Sebenarnya aku masih menunggu siapa yang akan menemuiku itu. Tapi
telepon ruanganku tak lekas berdering.
***
Hari
ini selera style ku naik lagi. Dengan sepatu kets bak gaya anak kuliahan
dan kali ini aku tak ingin naik sepeda motor, naik angkot saja. Lucu. Tak tau
ada angin apa. Padahal kalau kuperhitungkan seseorang yang akan menemuiku itu
pasti orang yang jabatannya diatasanku tapi kenapa tak ada anggun-anggunnya
pakaian ini.
Di
kantor aku persiapkan diri. Kalau pun itu bukan orang sesama pers setidaknya
siapa saja yang menawarkan politik berita aku tak takut lagi.
Kriiiing.
“iya Run.”
“Bu,
yang kemarin Pak Sinaga dari majalah tetangga jadi jam sepuluh ini Bu. Dia
sudah di ruangan humas. ”
“Sinaga?
Pemred majalah tetangga?”
“iya,
Bu.”
“ya
sudah, saya tunggu di ruangan.” Tut tut tut................................................................
Apa
pria itu? hm, banyak marga Sinaga di Medan ini bung!
“Assalamu’alaikum”
suara khas bataknya terdengar. Mirip suara pria Tionghoa itu. dan ternyata
memang dia.
“Wa’alaikum
salam. Hay guys! Aku pikir siapa lah tadi, berani juga dia bilang salam. Pasti
dia orang yang kenal aku kan.”
“hay
juga cinta! Pake kets masih sok muda aja” pria ini langusng membuang badan ke
atas sofa depan meja kerjaku. Suasana ini seperti masa-masa kuliah dan
organisasi kami tentunya. Hanya jarak satu setengah tahun yang membuat kami
vakum. Aku tak sangaka Romi mau deluan menemuiku. Yang aku tau orang ini sangat
perfeksionis sama sepertiku, persaingan tetaplah sebuah persaingan walau ada sekelumit
cinta dan kekecewaan.
Aku
ikut merapat ke sofa. “gak ada kulihat namamu di majalah itu Rom.”
“iya
memang sengaja tidak ada. Beberapa bulan lalu aku gak disini tapi di Malaysia.
Pemred kami dipecat gara-gara kena kasus suap.”
“Oooo,
masukin berita ya.”
“eh,
jangan dong cinta.” Kami tertawa.
Kreeeek.
Office boy mengantar minuman untuk Romi. OB ini kelihatan malu-malu sambil
berkata ‘maaf Bu.’ Aku mengernyitkan dagu. ‘kenapa dia minta maaf?’ dalam
hatiku, tapi aku hanya tersenyum. Sambil OB itu beranjak lagi keluar.
Ternyata
saat kupalingkan kepala ke kiri pundakku tangan Romi semi merangkul, ya tentu
saja bukan bermaksud memelukku tapi untuk merebahkan tangannya ke senderan
sofa.
Aku
mulai cerewet bertanya tentang ini dan itu. semua pengalaman satu setengah
tahun tak ada yang terlewatkan. Sampai jam makan siang kami berpisah. “nanti
sore aku jemput ya tepat pukul 17.00” kata Romi terus berlalu tanpa balasan
‘iya’ atau ‘tidak’ dari ku.
Yup 16.55
dia sudah nangkring di parkiran. Aku melihatnya memakai jaket biru
kesayangannya sejak kuliah dulu dari jendela ruanganku. Sosoknya yang tak
dikenal membuat aku leluasa bertemu dengannya, payah juga ceritanya kalau
pemred majalah tetangga sering-sering berkunjugn kesini.
“pas
kali la, aku emang gak bawa kendaraan lho.”
“bagus
lah, mungkin udah firasat bakal diantar orang wkwkwkwk”
Diatas
sepeda motornya Romi. “kemana nih? Aku kok sok tau-tauan mau ngantar ente
kemana.”
“rumahku
masih yang lama kok”
“ke
gramed aja ya bentar ada yang mau aku tunjukin”
“buku
solo ya? Udah baca kok”
“hehehe,
cepat ya.”
“udah
lama kaliiiiii”
“hm,
berarti belum tau yang baru ni anak.”
“emang
ada?”
“liat
aja nanti”. Ngeeeeeeeng.
Awal
hubungan setelah perpisahan kami adalah disini. Hantar jemput sudah menjadi kebiasaan.
Pria Tionghoa ini pun tak berapa lama kembali mengumpulkan keberaniannya untuk
mengatakan ‘Aku mau Lulu jadi istriku’
Pernikahan
kami berlangsung satu tahun tanpa anak. Memang singkat. Tapi dengan rasa bersalah
tak dapat melayani suami, aku minta berpisah. Ditambah lagi memang aku yang
selau sibuk di luar melebihi kesibukan suamiku sendiri. Aku saat itu sangat
egois tak memikirkan hubungan serius kami. Maafkan aku suamiku.
Selang
setahun, Romi menikah lagi. Tentunya dengan wanita yang dapat melayaninya
dengan baik. Aku tau perempuan ini adalah sekretaris redaksi di sebuah majalah
dan mungkin karena naluri sekretarisnya lah yang membuat ia lebih telaten
mengurusi rumah tangga ketimbang aku. Sedang aku sibuk mengurusi liputan dan
reportasi lapangan saja tanpa hiraukan pria bersuku batak yang sama sekali tak
keras dengan istrinya ini.
Aku
bertemu lagi dengan Romi. Di sebuah pelatihan jurnalistik di pulau Dewata. Kami
berdua sama-sama pemateri saat itu. Di akhir acara, Romi serius ingin bersatu
dengan ku lagi. Aku pun yang saat itu tak bisa melupakannya mantap mengatakan
‘iya’ walau harus menjadi madu atas izin istri pertamanya. Pernikahan kedua
kali dengan orang yang sama membuat aku belajar. Belajar mengatur hidupku. Aku terima
semua yang pernah dan sedang terjadi. Aku mulai menyusun komitmen dan rencana
walau tidak lagi berdua tetapi bertiga. Ya, aku rasa saat ini lebih baik, walau
tetap aku masih haus untuk bersamanya lebih lama. Suamiku, arahkan aku.
GEE...! GILLLLAAA... Dri banyak note yg kau buat, yang ini paling kkeren dan beriisi. Kita tungggu ya BALADA KELUARGA REDAKSI dari kru llainnya.
BalasHapusiya siapa tau satu keluarga bisa buat buku, ya kan...
BalasHapusjuga ditunggu Balada dari Keluarga lainnya...
BalasHapuskeluarganya aneh. trans status!
BalasHapuskeren..keren kk:-)
BalasHapus