Minggu, 05 Januari 2014

Starting Point As A Writer

Oke aku sudah selesai membaca My Life as Writer. Hm, sekitar 3 jam aku bisa menghabiskan buku nonfiksi 193 halaman. Mungkin diantara kalian ada yang punya waktu lebih cepat daripada aku it’s okey.

Awalnya ini sudah sering kulihat di Gramedia, tapi baru seminggu lalu aku bertemu Habib Asyrafi di sekret secara tidak sengaja. Lalu aku berniat barter. Dan ternyata pria dengan tinggi 190 ini sedang mencari buku fiksi, aku jadi ingat dengan Perahu Kertas yang berhasil membuat aku menambah kadar kecintaan terhadal novel. Kebetulan Habib sedang mengincar novel-novel yang telah di-reform ke film dan ini waktu yang tepat untuk barter. Lalu beberapa kebetulan lainnya, penulis My Life as Writer, Haqi Achmad sangat senang dengan penulis Perahu Kertas, Dewi Lestari, jadi sekiranya mereka berjodoh karena buku yang kami barter buku-buku atas nama mereka berdua.

Setelah seminggu lalu My Life as Writer berondok di tas, baru minggu ini aku benar-benar menamatkannya. 3 jam. Dan berada di tempat yang paling nyaman. Di rumah nenek di kota Serbelawan desa Bahung, masih asri dengan sawah dan kicauan burung, di kamar depan di atas tempat tidur yang mengadap jendela, dan suasana pedesaan yang begitu natural, it’s amaze.
My Life as Writer bukan hanya ditulis Haqi Achmad, Ribka Anastasia Setiawan juga ambil bagian.

***

Buku ini berkisah 5 penulis mumpuni, berbagai kisah mereka selama dan sedang menapaki karir sebagai penulis. Diantaranya Alanda Kariza, Clara Ng, Dewi Lestari (Dee), Farida Susanty, dan Valiant Budi Yogi (Vabyo).

Haqi dan Ribka serta merta melabeli buku ini dengan beberapa tujuan mengapa harus membaca buku ini.Pertama, mau jadi penulis tapi bingung cara mulainya. Kedua, kamu punya banyak cerita menarik dan ingin dibaca banyak orang. Ketiga, suka baca buku dan mau akrab sama penulisnya. Keempat, ragu untuk memulai passion. Kelima, mau meyakinkan orangtua kamu tentang bakat menulismu. Keenam, sudah sering nulis tapi belum pernah diterbitkan. Ketujuh, seorang pendidik yang mau cerita tentang profesi ini.

Ketujuh poin diatas bisa meyakinkan mu untuk segera menyusun kembali keinginanmu terwujud.

Aku sendiri sangat Ge-eR untuk bisa berkelas seperti mereka, ketika ternyata Alanda, Clara Ng, juga tergabung dalam  organisasi wartawan kampus sebelum akhirnya dinobatkan sebagai penulis. Mencintai pelajaran Bahasa Indonesia, memiliki motif menulis, dan soundtrack perlu atau tidak selama menulis mengingatkan kesamaan-kesamaan yang aku sendiri bisa rasakan. Menjadikan menulis sebagai profesi, bahkan diantaranya ibu rumah tangga yang benar-benar bisa membagi waktu dengan komitmen mereka menulis, membuat aku justru menemukan secercah harapan menjelang tahun-tahun dewasaku. Jikalau aku masih muda, mungkin kegiatan menulis yang sampai saat ini bisa menghargaiku secara utuh, tanpa harus berbekal title di belakang namaku. Selayaknya penulis bahkan hanya membubuhkan nama pena tanpa embel-embel akademik.

Dan dari tiap-tiap quote mereka membuat aku harus tau diri dulu jika ingin disebut penulis.


“Kalau bisa aku pengin orang cukup kenal bukuku tapi nggak perlu tahu aku siapa. Aku pengin seperti itu.” –Clara Ng- 

Wah, bahkan mungkin kita pernah terbesit untuk menaikkan popularitas kita dalam menulis. Menjadikan diri lebih diterima sosial bahkan tujuan awal kita malah. Namun sekali lagi niat yang lagi-lagi akan mengantarkan kita kepada niat. Ketika kita ingin ‘tepuk tangan’ orang lain, maka cukup itu lah yang kita dapat, namun ‘pelajaran’ yang kita inginkan bahkan ‘tepuk tangan’-pun akan kita dapatkan selain ‘pelajaran’.

Dan aku paling tertarik dengan, “Ketika sudah menerbitkan tiga buku, aku masih menolak dibilang penulis. Pada waktu itu aku bahkan sempat menolak ketika diajak menjadi pembicara talkshow Bagaimana Cara Menuis Novel. Aku menolak mengikuti acara itu karena merasa diriku belum menjadi penulis. Aku menetapkan standar tinggi utnuk diriku sendiri dan menurutku tiap penulis perlu menetapkan standar tinggi untuk dirinya,” –Clara Ng-

Aku jadi malu. Pasalnya, aku baru jadi Editor in Chief majalah kampus dan contributor antologi saja sudah sok-sokan mengiyakan ajakan menjadi pembicara di depan mahasisiwi rohis untuk sekelas ilmu menulisku yang terbilang masih imut-imut. Aku ingat betul mereka manggut-manggut begitu aku mulai memunculkan slide-slide yang aku sendiri melabelinya dengan “Motivasi Menulis”, alakh.

Selanjutnya, “Jadi rasanya bukan dari kuantitas, tapi dari kualitas bacaan yang aku temukan. Kalau memang menyentuh, ia akan menggerakkanku untuk berkarya lebih banyak.” –Dewi Lestari- 
Quote ini mengingatkanku pada apa yang aku alami. Sama seperti Alanda, Clara, Farida, dan Vabyo katakan, menjadi seorang penulis harus banyak membaca. Namun satu yang paling benar-benar membuat aku berubah ketika selesai membaca buku adalah aku bisa menghasilkan tulisan. Dan tentunya ia si buku berkualitas yang mampu menggerakkanku. Persis yang dirasakan Dee. Seorang pembaca akan mulai membuat karya yang sama ketika ia mulai merasakan sesuatu yang menggerakkanya. Dan itu tentu bukan kuantitas tapi kualitas. Tapi agar kuantitas juga mempengaruhi kualitas, teruslah mencari buku berkualitas. Namun terkadang kita dapat menyadarkan diri dengan apapun bacaan yang sedang kita baca, terlepas bicara soal kualitas.

Lalu, “Menulis memberikan kemerdekaan untuk lebih banyak di rumah. Menulis tidak mengharuskanku terjebak macet di jalan. Menulis membuatku tidak perlu tampil menjadi orang lain yang bukan diriku. Dalam artian aku nggak perlu make-up atau dandan heboh untuk menunjukkan aku penulis. Sebagai penulis, aku berbicara lewat bukuku.” –Dewi Lestari-

Hehe, ini yang aku bilang “…aku justru menemukan secercah harapan menjelang tahun-tahun dewasaku….”. komitmen menulis bukan hanya dari track record sebelum-sebelumnya tetapi menjanjikan kodrat keperempuanan untuk serta merta menjadikan rumah sebagai tempat beribadah dan berkegiatan paling utama.

Tentunya masih banyak lagi tips yang bisa kita temukan dalam buku ini. Kalian belum lagi membaca quote dari Alanda, Farida, dan Vabyo. Tentu memberikan kesan tersendiri, bahwa “Menulis adalah bekerja untuk keabadian,” kata Umar Kayam.

Lalu serta merta tulisan ini sebagai pelajaran untuk kita semua. Sekuat apapun mata kita untuk membaca buku-buku fiksi, non-fiksi. Maka alquran sangat penting dari segalanya.

Selamat membaca dan semangat membaca !




Dedemit Dijadiin Cerita Gokil

Hari ini aku gak mau begitu aja menyiakan waktu luang tanpa membaca buku. Walau agak ringan hari ini model bacaanku, yang penting happy sih.
Setelah sebelumnya aku disibukkan dengan beberapa buku serius, malam ini aku selesai baca buku yangentertaining banget menurut aku. Bisa dibilang ini cerita gokil seperti tulsian-tulisan Lana Molen yang mejeng di catatan facebook.

Judulnya Vampire Redemption. Buku ini dibeli kakakku yang doyan cerita gokil dari masa puber pertamanya sampai sekarang lagi mengandung seorang bayi pun masih doyan. Tapi karena belakangan buku-buku berbau edukasi memenuhi antrian aku rehat sejenak deh untuk membacanya.

Jadi buku ini punya cerita gokil abis. Benar-benar non fiksi. Aku langsung teringat sama catatan facebook yang pernah kubuat berjudul Ditolong Lumba-Lumba. Ayaleka Genoviera mengambil tokoh para dedemit sebagai pemeran di dalam Novel Hantu Mabok nya ini. Yah, sekedar memenuhi pangsa pasar pembaca yang dominan dihantui makhluk-makhluk gaib.

Sempat buku tentang pocong gokil menghiasi pasar bacaan di toko-toko buku. Tidak hanya itu Indonesia memang sedang booming karakter dedemit seperti suster ngesot, kuntianak, vampir, pocong dan yang paling sukses kelihatannya memang pocong, sampai-sampai di stand up comedy pocong sering jadi bahan ketawaan anak alay.

Awal mulanya aku anti banget bacaan gokil, tetapi pengaruh lingkungan sepertinya mengharuskan aku refresh dengan ini semua. Mulai dari kakakku sampai mamaku kadang juga demen sama bacaan beginian. Kemudian ketika bergabung di organisasi pun aku mulai beradaptasi dengan orang-orang gokil yang kreatif abis. Sampai-sampai aku tergabung sebagai Editornya tulisan gokil Kolak Dingin oleh Koki Lima. Jadi aku pribadi cukup berterima kasih atas prestasi yang kuraih saat ini.  

Setelah itu aku jadi kenal Raditya Dika dan kerap ngintip stand up comedy di youtube untuk menambah kosagaya open mic. Pernah aku coba-coba memperkanalkan diri pake gaya begituan waktu ospek di kampus. Gila gak tuh.

Hahaha tapi sekali lagi itu semua hanya oasis di gurun pasir. Ketika aku kehausan, ada minuman segar yang bisa bikin fresh lagi. Kurang lebih begitulah analoginya.

Menurut aku pribadi, biasanya yang gemar menulis cerita gokil beginian kaum adam, tapi gak serta merta menghilangkan nama-nama perempuan yang pernah kutemui di sampul buku cerita gokil. Perempuan pertama ada Dedew, si penulis anak kos dodol. Dan mungkin pernah ada nama lain tapi aku lupa, dan yang saat ini Ayaleka bertahta di imanjinasiku *apaan sih. Kan jarang juga Comedian cewek. Pernah sesekali perempuan bule itu open mic *aku lupa namanya.

Baik lagi ke Vampire Redemption. Jika diartikan dengan kamus artinya adalah Pembebasan Vampir. Jadi ceritanya Raja Vampir Van Piere suka memperbudak para tumbal pesugihan di istinanya dan menipu para hantu dengan kelicikannya. Lalu raja vampir melakukan penyerangan ke sebuah desa karena ditipu oleh pelaku pesugihan. Saat penyerangan gokilnya, semua manusia di desa itu untuk bisa menyerang balik si raja vampir, mereka pun dirubah menjadi vampir, dengan cara menggigit semua warga.

Namun sebenarnya jika kupantau lebih cermat, setelah penyerangan itu yang paling bersalah ada Panut dan Giran, bapaknya Panut. Karena mereka sebelumnya melakukan pesugihan untuk menjadi kaya serta menjadikan warga kampung yang pernah berbuat jahat sebagai tumbal. Namun semuanya malah ikut-ikutan membantu Panut sekeluarga dari serangan Van Piere. Sudah dikorbankan jadi tumbal eh mau mengorbankan diri untuk memebantu si pembuat pesugihan. Hahaha, lucu. Sekeluarga bahkan satu kampung jadi vampir semua deh.

Yah, tapi mau diprotes kayak gimana pun tetap aja novel ini berlabel Novel Hantu Mabok jadi agak wajar kalau ceritanya banyak yang ngawur.

Dalam novel ini Ayaleka tidak sedikit melibatkan dedemit, mulai dari Nyi Blorong, Vampir tapi disini lebih bisa dibilang Drakula, Tuyul, Sundel Bolong, Suster Ngesot dan beberapa dedemit figuran diantaranya Pocong dan Genderuwo. Alur ceritanya pun sebenarnya ringan, namun gelik tawa dari permainan kata Ayaleka yang ngelantur buat kita gak terlalu merasakan kemistisan saat membaca buku ini. Malah jika aku cermati ini buku buat kita gak takut sama dedemit-dedemit.

Persoalan terbesar disini adalah maraknya pesugihan yang dilakukan orang-orang awam iman untuk menjadi kaya. Padahal tau sendiri kalau cara ini sebenarya buat kita kaya harta tapi miskin mental. Ditagih tumbal dan kita harus mengorbankan orang-orang yang pernah berinteraksi dengan kita sebelumnya. Ya walau begitu Ayaleka memang membuat cerita ini benar-benar ringan, walau pesugihan bukan sembarang praktik yang ringan nyatanya.

Kalau kawan-kawan sering nonton Mister Tukul Jalan-Jalan pasti akan menonton kisah-kisah rumah peninggalan dukun dan rata-rata berakhir mistis. Ada yang melahirkan anak hanya untuk sebagai tumbal dan keluarga-keluarga mereka dijadikan tumbal. Yang paling miris dengan kisah ini. Seorang suami istri yang ingin kaya, lalu melakukan pesugihan dan yang menjadi tumbal adalah anak mereka sendiri. Setiap berhubungan dan melahirkan anak tidak berapa lama anak itu lahir sudah menjadi tumbal, begitu seterusnya dari anak pertama hingga anak ketujuh. Lalu karena tak bisa membayar tumbal lagi maka keduanya mati dan rumah itu kosong sampai sekarang. Menjadi tempat yang mengerikan di pandang warga setempat. Kejam sekali bukan.

Nah, di akhir cerita Vampire Redmption ini pun Ayaleka mencerminkan praktik pesugihan berakhir tak seindah dibayangkan, semua warga menjadi vampir dan desa ini tak lagi ada kehidupan dan dijauhi warga dari desa lainnya.

Yah, dengan penulisan yang ringan, Ayaleka sukses di satu sisi memberikan hiburan, dan satu sisi menunjukkan bahwa praktik mistis seperti ini tak akan pernah berakhir baik.

Awal tahun baca tulisan beginian cukup memberi inspirasi dan pelajaran. Buku ini terbilang baru karena terbit di Oktober 2013, 154 halaman cukup membuat anda tergelak tawa dua sampai tiga hari menghabiskannya. Selamat membaca!