Minggu, 14 Oktober 2012

Mempersunting Naskah, Eh Salah Menyunting Naskah ^_^


Kalau dengar lagunya Michael Buble - Best of Me jadi teringat malam-malam di hotel Sitawa Sidingin. Pengalaman yang sangat berkesan di Padang. Sampai sekarang aku mesih ingat terus, gimana setiap malam aku selalu latihan buat narasi dan selalu ditemani suara seksinya Buble. Sambil sesekali nonton stand up comedy bareng teman sekamar, dan gila-gilaan dengan kamera digital.

Jelas masih membekas banget perjalanan ke Padang kemarin itu, gimana mau gak ingat, disana aku tinggal di pusat kota Bukit Tinggi, seminggu pula, tapi yaitu orang padang kelihatannya takut sama orang Medan, baru aku pelototin dah nangis hahahaha.

Padang, kotanya masih kental dengan budaya. Budaya bukan hal yang kontemporer disana. Budaya, ya memang cara untuk jalan di kehiduan. Mulai dari anak mudanya udah menjunjung tinggi bahasa budayanya sendiri, baik yang tinggal di kota maupun di desa. Nama budayanya Minang. Minang jadi ciri khas Padang. Hm kalau baca kata “Minang” jadi langsung teringat rumah makan, rumah makan yang dominan dengan lauk pauk yang rasanya padeh na’udzubillah. Padahal cuma makan mie hun yang dibungkus pake plastik ukuran seperempat waktu keliling-keliling di Unand (Universitas Andalas) tapi butet rasa si uni naruk cabenya se plastik setengah kilo. Huaaaa! Hot

Walau cuma dua kali ke Padang, bisa dikata aku jatuh cinta sama kota ini. Padang yang paling gak bisa buat aku tidur di perjalanan. Padang juga banyak mempengaruhi tulisanku. Selain karena pelatihan narasi  pada Oktober lalu, beberapa novel yang aku baca juga settingnya selalu di  Padang. Jadi makin cinta aja nih sama kota Padang. Pengen balik lagi.

Haduuuh, kok jadi nyeritain Padang, padahal hanya gara-gara dengarin backsound Michael Buble udah langsung bernostalgia.
Jadi sebenarnya yang mau diceritain itu ini:
Sambil nulis nih curhatan aku juga nyambi menyunting naskah. Malam ini serasa nonton stand up comedy, padahal lagi baca tulisan mini para bocah. Jadi aku dapat proyek bersama teman-teman yang notabene katanya mereka cowok normal dan terlibat dalam sebuah antologi kisah inspiratif, dan yang menyunting naskahnya itu aku. Mau ngakak aja bawaannya baca naskah mereka. Tapi selain ngakak aku banyak belajar dari tulisan mereka.

Ada satu penulis yang hebat banget dalam mengunakan kata-kata. Gak usah kita sebut namanya ntar jadi GE-ER. Salut deh pokoknya. Bukan yang lain gak bagus, tetap bagus, tapi tulisan doski yang kalau dibaca itu mengalir lancar ibarat kalau kita udah kebelet terus langsung lari ke toilet, fuih lega banget. Kalau begini penyunting bakal gak ada kerja untuk meluruskan kalimat, paling pembenararan EYD dan membetulkan beberapa kesalahan dalam pengetikan.
Hm, banyak pelajaran nih yang  didapat dari tulisan-tulisan mereka. Sebenarnya aku nyari kerjaan atau nyari bahan belajar ya? Senang bisa bekerja dan belajar dari tulisan orang-orang yang luar biasa. Lanjut baca lagi ah.

Setelah membaca beberapa mini story, aku sadar ternyata ada beberapa gaya menulis yang aku temukan, dan pernah terjadi sama aku sendiri.
Ada penulis yang menulis dengan bahasa hatinya, ada yang menulis dengan bahasa referensinya, juga ada yang menulis dengan bahasa hati dan sesuai referensinya. Heleh, apa sih maksud daku.

Yup, biasanya seorang penulis akan menunjukkan gaya-gaya menulis sesuai dengan apa yang pernah dilihat, dirasa dan dibaca tentunya. Seperti yang aku bilang diatas, ada yang menulis sesuai dengan referensinya. Orang ini menulis dengan rapi dan sistematis seperti yang ada di buku-buku, kalimatnya enak dibaca dan gak muter-muter atau tidak banyak dipengaruhi bahasa tabiat. Dari sini ketahuan kalau penulis ini rajin membaca.

Ada juga yang menulis dengan keadaannya atau bahasa hatinya. Dia bisa nulis kalau hatinya sedang terlibat dengan beberapa kejadian yang dianggap bisa diungkapkan dengan tulisan. Penulis ini menggunakan bahasa yang bisa jadi dimengerti oleh dirinya dan orang-orang yang mengerti tabiatnya saja.

Dan ada yang menulis mengandalkan keadaaan hati atau pengalaman serta didukung kemampuan menulis berdasarkan referensi bacaannya. Penulis seperti ini hebat, dia punya banyak pengalaman untuk ditulis dan selalu memiliki kemampuan merangkai kalimat ke dalam bahasa yang baik berkat kebiasaan membacanya dan dapat dimengerti kebanyakan orang bukan hanya orang-orang dekat saja.

Nah tulisan-tulisan seperti ini bisa ditemukan di beberapa catatanku juga kok hehehe. Kok perasaan ngomentari tulisan orang.
Sekarang ini, pastinya seseorang yang ingin menjadi penulis akan terus banyak baca kan, karena pengalaman saja tidak cukup untuk mewakili sebuah frasa, klausa, bahkan kalimat dalam menggambarkan sesuatu. Kita kudu punya trik dalam merangkainya, menjadikan kalimat lebih enak dilihat mata, hohoho. Itulah sebabnya kenapa ada istilah penyunting naskah kan.

Loh, udah jam dua aja nih. Tidur lagi ye, sampai ketemu dicatatan selanjutnya.
Jangan lupa kode etik penyunting naskah no 4 ya # Merahasiakan naskah hingga akhirnya terbit.

Naluri Ibu Rumah Tangga


Terasa, terasa, terasa banget asiknya. Asiknya jadi calon ibu-ibu. Hm, mau tau kisahnya? Baca yuk.

Pasca kepergian kakak dan adik perempuanku, aku dinobatkan menjadi anak perempuan satu-satunya di rumah ini, aseeekkk. Tapi seiring kepergian mereka aku mulai letoy dan dekil, wkwkwkwk. Semula pekerjaan rumah terbagi menjadi tiga kini berubah menjadi AKULAH SATU-SATUNYA MANUSIA YANG MENANGANI SELURUH SELUK BELUK RUMAH ini kecuali bagian kompor, kuali, sudep dan kawan-kawannya (aku bukan seksi konsumsi).
Karena terbiasa dibantu para peri, namun kali ini tidak. Dengan kesadaran yang tinggi sebagai calon ibu rumah tangga, apapun rela kulakukan demi kebersihan rumah tercinta, ceileh.Baity Jannaty.

Menjadi anak perempuan satu-satunya di rumah kami sebenarnya ada enaknya, karena siang malam aku sudah sibuk dengan beberapa pekerjaan rumah, kampus dan sekolah, membuat aku tak punya waktu untuk melirik EmEm-EmEm di luar sana.Jadi nyokap berinisiatif untuk mencarikan Em-Em, hahahah penting gak sih. Bukan itu yang mau dibahas.

Pagi - pagi biasanya aku mulai bergelut dengan wayar setrika yang suka nyetrum,
A: “Kak, baju yang kemarin kainnya gak enak kali dipake, kayak serasa pake kertas gak kayak pake kain”
B: “Trus?”
A: “Mau pake yang ini aja, gosokin ya”
B: “Ha?!” Aku paling gak bisa nolak permintaan salah satu personil trio macan ini (boy version) klo gak ntar aku diacak-acak.
Atau,
A: “Kak, (mamaku manggil aku pake sebutan itu) jilbab yang mau mama pake kusut kena lipatannya, gosokin lagi ya”
B: “Yoa, Bu Up” (jawabnya pake semangat, karena pagi-pagi jadwal minta uang jajan, klo gak semangat bisa batal dikasih uang jajan).

Setelah terus-terusan kena setrum, nih setrika wayarnya udah kisut sih, aku kemabli lagi bergumal dengan kain-kain semi kering. Ini cucian tadi malam harus dijemur pagi-pagi kalau gak bau apek.

Tempat cucian ada di lantai bawah, sedangkan tempat menjemur ada di lantai atas. Jadi setelah menyetrika baju di lantai atas, aku harus turun ke lantai bawah dan naik lagi untuk menjemur. Hosh, hosh, hosh, hosh, ....baby hosh hosh (lagu Pussycatdolls).
Udah lumayan puas gak dengar penderitaan aku naik turun tangga?

Next, karena punya naluri gak bisa nginjak lantai kotor, pagi-pagi pun aku langsung megang gagang sapu. Dipegang aja? Gak dong digigitin, hehehe.
Tadi aku diatas atau dibawah ya? Oh masih diatas jemurin pakaian. Karena ceritanya mau nyapu nih, aku turun lagi ambil sapu, terus ke atas lagi karena start yang asik buat nyapu itu dari atas ke bawah coy. Kan gak ada orang nyapu tangga dari bawah ke atas, yang ada debunya ketahan di sudut-sudut lantai.
Rumah ini kubagi jadi tiga zona dalam menyapu, aku lumayan profesional untuk urusan menyapu, karena udah 5 tahun petugas kebersihan di rumah ini aku terus, gak ganti-ganti, jadi hapal.  Zona pertama, mulai dari mushalla sampai teras belakang lantai 2. Zona kedua, dari tangga bagian atas ke bawah sampai teras belakang lantai 1. Zona ketiga, ruang tamu sampai teras depan lantai 1. Dengan jurus laba-laba akhirnya selesai, fiuh. Kalau masih gak enak dipijak kaki, dengan rasa menyesal punya naluri gak bisa nginjak lantai kotor, akhirnya ngepel dilakuin juga.

Bergelut dengan debu, buat aku ingin cuci tangan dan kaki saja. Aku ke dapur maksudnya mau cuci tangan tapi yang terlihat piring, gelas, mangkok, sendok garpu bergelimpangan, naluriku jalan lagi. Ini yang namanya naluri ibu-ibu, gak senang kalau lagi ngeliat rumah berantakan ceileh.
Oke, aku singsingkan lengan baju dan kembali berjibaku.

Kalau yang namanya di dapur, selain ketemu piring kotor, pasti kita bakal ketemu pakaian kotor, kalau pun waktu cukup, aku bakal segera menghidupkan mesin cuci, kalau pun gak ada waktu lagi aku rendam dulu pakaiannya khusus yang warna putih.

Aku pikir sampai disini dulu banting tulangnya. Biasanya semua pekerjaan itu selesai pukul tujuh kurang, nyokap juga ternyata sudah selesai siapin sarapan, kebetulan aku punya jam makan yang gak bisa ditolerir keterlambatannya kecuali mendesak. Jadi jam tujuh aku udah dalam posisi perut kenyang, gak ada cerita gak sarapan dalam kehidupan aku. Mungkin ini juga yang buat aku baik-baik aja dalam menjalankan tugas, makan harus teratur men.

Aku selesai sarapan, para penghuni rumah ini pun juga. Lalu tanpa merasa bersalah mereka satu per satu meninggalkan rumah inidengan jejak pasir dari sepatu di teras belakang dan empat piring kotor tambah punya ku jadinya lima, belum lagi gelasnya dan sendok garpu.

Aku punyakebiasaan gak bisa ninggalin rumah dalam keadaan kotor, aku kembali lagi bergelut dengan debu dan  barang pecah belah, sambil mencuci piring, mesin cuci kelihatan nganggur kupaksa juga dia kerja. Emangnya mau aku aja yang kerja, aku balas dendam sama mesin cuci, rasain lho. Aku masukan 15 potong baju, kuhidupkan mesih dan dia bekerja sendiri, jadi selesai aku cuci piring, mesin pun selesai nyuci. Priring-piring, lantai dan pakaian udah bersih.

Selesai berjibaku, semua beres, semua bersih. Dengan ngerasasok hebat aku lenggang kangkug ke ruang tivi, istirahat bentar. Tapi waktu aku mau ngidupin tipi dan duduk santai, Grrrrrhhhh, ada yang gedor-gedor pagar rumah, ‘siap lagi nih pagi-pagi’, aku buru-buru mau buka pintu, aku lihat ada tukang galon isi ulang, tapi ini bukan abang-abang yang biasa, yang ini ganteng heheh. Aku buru-buru mau ambil jilbab yang biasa aku gantung dekat cermin, eits ngaca dulu,waktu ngaca, “Huaaaaaaa!Jelek kali mukaku, asem, dekil”. GAWAT mana tukang galon isi ulang udah nugguin lagi di luar. Cuma satu kelemahan aku hendak jadi ibu rumah tangga, naluri aku gak jalan waktu aku lihat di cermin mataku masih belekan. Gih mandi sana! (lari-lari ke kamar kandi)pura-pura aja gak ada orang di rumah, gak jadi buka pintu.