Selasa, 29 Mei 2012

Balada Keluarga Redaksi # Catatan Istri Kedua


Aku tak pernah bermimpi bertemu dengan laki-laki mirip Tionghoa ini. Sampai akhirnya takdir tuhan menjadikanku sebagai istri keduanya.

Sama seperti percintaan pada umumnya kami dipertemukan saat perkuliahan. Pria ini teman sekelasku, tapi ia beda satu tahun diatasku. Badannya yang tinggi semampai dan kulit putihnya benar-benar tak pernah kubayangkan akan menjadi pria pendamping hidupku. Aku, berkulit gelap namun satu hal yang paling dicintainya kepintaranku, keaktifanku dan segala kebaikan dari diriku. Tiba lah pada harinya ia mengatakaan ingin menikah denganku.
***
Pria ini tiba-tiba saja hadir di hidupku sebagai pembuka lembaran baru di institut. Kami berteman baik karena rasa persaingan di kelas. Aku malu sekali saat ia menjawab pertanyaan dosen dengan jawaban yang salah. ‘dasar bodoh’ celetukku dalam hati. Tapi keambisiusan kami lah yang menyatukan ini semua. Mulai dari hobi hingga cara pandang hidup semuanya sama. Lalu kami bertukar nomor ponsel. Tak ada yang beda dengan kebiasaan pasangan lain. Smsnya selalu nangkring tanpa aku pancing dahulu. Pria ini sangat agresif. Terus saja tanpa memberiku sedikit jeda. Hanya saat di kelas ia tak layangkan smsnya, namun jika perkuliahan selesai cepat-cepat rasanya ia kirimkan pesan itu walau hanya sekedar bertanya ‘sedang apa?’ atau ‘main tebak-tebakkan yuk?’
Waktunya terlalu singkat. Di semester yang sama, ia mulai mengirim sms yang berbau mesra. Aku tak tau ini serius atau tidak. Ia menyelipkan sebuah pertanyaan dalam candaannya. Yang kubalas juga dengan selera candaanku. Intinya aku jawab ‘tidak’ untuk pertanyaannya. Saat itu juga ia sedikit menjaga jarak. Aku terus bertanya ‘apa itu serius?’ mungkin jika ia serius aku juga akan serius. Tapi ia jawab ‘tidak, hanya bercanda. Aku Cuma ngetes kok, dari semua teman perempuanku yang aku beri pertanyaan itu jawabnya iya, tapi Cuma kamu yang jawabnya tidak’ katanya. Dasar pria pengecut!
***
Lalu bagaimana bisa aku jadi istri keduanya? Bertahun-tahun kami di satu kelas, bertahun-tahun itulah ia tak lagi megnirimiku sms. Hanya sekedar bertanya tugas kuliah. Pernah di momen-momen serius aku tanya lagi, tapi tetap saja jawabannya sama. Sampai benar-benar aku yakin ia tak sedikit pun menyimpan perasaan yang pernah ia tuangkan dalam smsnya dulu. Mungkin memang aku yang mudah terpancing rayuan pria mirip Tionghoa ini. mulai saat itu juga aku dan mungkin ia melupakan saat-saat kedekatan kami. Titik. Aku juga tidak mengerti mengapa ia tak kunjung juga ada di pikiranku saat itu.
Sekitar dua tiga pria mendekatiku aku masih penasaran dengan sikapnya. Aku memang tak memperdulikannya lagi tapi aku hanya ingin tau ‘apa memang benar saat itu dia menyimpan rasa denganku?’ kalau pun memang benar aku tak berpikir untuk bersamanya karena kesibukan perkuliahan lebih dominan di otakku dari pada sejumlah pria-pria manis dihadapanku. Itu lah aku masa kuliah.
Satu lagi. Kami tak pernah berpisah. Walau hatiku sudah tak ada dirinya, tetap jasad kami selalu bersama, bahkan di setiap kesempatan. Maklum kami satu organisasi. Dan yang terakhir kami satu kelompok KKN.
Pria ini menghilang sejak ia putuskan untuk lebih dulu mengecap toga di kepalanya. Aku masih sibuk mengurus beberapa nilai yang dianggap tidak cukup untuk menyandang jubah hitam itu.
Setengah tahun saja tak mencium baunya, aku merasa kehilangan. Keirianku dengannya semakin membuatku ingin cepat-cepat selesaikan kuliah. Akhirnya aku selesai. Tapi aku tak tau ia dimana, tak tau sama sekali.
Selang satu tahun, beberapa temanku menghubungi. Mereka bertanya ‘gimana pria Tionghoa itu? sudahnya kalian menikah?’ aku cengar-cengir mendengarnya. Mereka selalu saja ingat masa-masa itu. Masa masa persahabatan kami berdua bagaikan sepasang kekasih, padahal semua itu fiktif belaka bahkan ada sebagian yang kami skenariokan hanya sekedar membuat yang lain cemburu.
***
Setahun setelah tamat, aku mulai bekerja sebagai staf redaksi di sebuah majalah. Pengalaman organisasi semasa kuliah dulu ternyata memberiku skill untuk bisa mengotak-atik dunia jurnalistik. Karirku semakin memuncak. Majalah tempat aku bekerja pun semakin populer di masyarakat. Diam-diam ternyata majalah tetangga tak kalah populer. Sekali-sekali kulirik siapa saja staf redaksinya. Tak ada satu nama pun yang tak asing di telingaku.
Aku terkejut, telepon di ruanganku berdering. Katanya ada yang ingin bertemu dari majalah lain. Maklum sekarang aku Redaktur Pelaksana siapa saja ingin bertemu akan dengan sangat cepat difilter oleh sekretaris humas kami. Kujawab ‘ya, hari ini kalau dia Redpel seperti ku juga. Kalau dia atasanku besok saja pukul 10.00’. Tut, kuputuskan jaringan.
Aku di kantor sampai larut. Masa lajang kugunakan untuk kerja keras. Rasanya ingin mengembalikan modal orang tua walaupun tak bisa sebanyak apa yang diberikan mereka. Sebenarnya aku masih menunggu siapa yang akan menemuiku itu. Tapi telepon ruanganku tak lekas berdering.
***
Hari ini selera style ku naik lagi. Dengan sepatu kets bak gaya anak kuliahan dan kali ini aku tak ingin naik sepeda motor, naik angkot saja. Lucu. Tak tau ada angin apa. Padahal kalau kuperhitungkan seseorang yang akan menemuiku itu pasti orang yang jabatannya diatasanku tapi kenapa tak ada anggun-anggunnya pakaian ini.
Di kantor aku persiapkan diri. Kalau pun itu bukan orang sesama pers setidaknya siapa saja yang menawarkan politik berita aku tak takut lagi.
Kriiiing. “iya Run.”
“Bu, yang kemarin Pak Sinaga dari majalah tetangga jadi jam sepuluh ini Bu. Dia sudah di ruangan humas. ”
“Sinaga? Pemred majalah tetangga?”
“iya, Bu.”
“ya sudah, saya tunggu di ruangan.” Tut tut tut................................................................
Apa pria itu? hm, banyak marga Sinaga di Medan ini bung!
“Assalamu’alaikum” suara khas bataknya terdengar. Mirip suara pria Tionghoa itu. dan ternyata memang dia.
“Wa’alaikum salam. Hay guys! Aku pikir siapa lah tadi, berani juga dia bilang salam. Pasti dia orang yang kenal aku kan.”
“hay juga cinta! Pake kets masih sok muda aja” pria ini langusng membuang badan ke atas sofa depan meja kerjaku. Suasana ini seperti masa-masa kuliah dan organisasi kami tentunya. Hanya jarak satu setengah tahun yang membuat kami vakum. Aku tak sangaka Romi mau deluan menemuiku. Yang aku tau orang ini sangat perfeksionis sama sepertiku, persaingan tetaplah sebuah persaingan walau ada sekelumit cinta dan kekecewaan.
Aku ikut merapat ke sofa. “gak ada kulihat namamu di majalah itu Rom.”
“iya memang sengaja tidak ada. Beberapa bulan lalu aku gak disini tapi di Malaysia. Pemred kami dipecat gara-gara kena kasus suap.”
“Oooo, masukin berita ya.”
“eh, jangan dong cinta.” Kami tertawa.
Kreeeek. Office boy mengantar minuman untuk Romi. OB ini kelihatan malu-malu sambil berkata ‘maaf Bu.’ Aku mengernyitkan dagu. ‘kenapa dia minta maaf?’ dalam hatiku, tapi aku hanya tersenyum. Sambil OB itu beranjak lagi keluar.
Ternyata saat kupalingkan kepala ke kiri pundakku tangan Romi semi merangkul, ya tentu saja bukan bermaksud memelukku tapi untuk merebahkan tangannya ke senderan sofa.  
Aku mulai cerewet bertanya tentang ini dan itu. semua pengalaman satu setengah tahun tak ada yang terlewatkan. Sampai jam makan siang kami berpisah. “nanti sore aku jemput ya tepat pukul 17.00” kata Romi terus berlalu tanpa balasan ‘iya’ atau ‘tidak’ dari ku.
Yup 16.55 dia sudah nangkring di parkiran. Aku melihatnya memakai jaket biru kesayangannya sejak kuliah dulu dari jendela ruanganku. Sosoknya yang tak dikenal membuat aku leluasa bertemu dengannya, payah juga ceritanya kalau pemred majalah tetangga sering-sering berkunjugn kesini.
“pas kali la, aku emang gak bawa kendaraan lho.”
“bagus lah, mungkin udah firasat bakal diantar orang wkwkwkwk”
Diatas sepeda motornya Romi. “kemana nih? Aku kok sok tau-tauan mau ngantar ente kemana.”
“rumahku masih yang lama kok”
“ke gramed aja ya bentar ada yang mau aku tunjukin”
“buku solo ya? Udah baca kok”
“hehehe, cepat ya.”
“udah lama kaliiiiii”
“hm, berarti belum tau yang baru ni anak.”
“emang ada?”
“liat aja nanti”. Ngeeeeeeeng. 
Awal hubungan setelah perpisahan kami adalah disini. Hantar jemput sudah menjadi kebiasaan. Pria Tionghoa ini pun tak berapa lama kembali mengumpulkan keberaniannya untuk mengatakan ‘Aku mau Lulu jadi istriku’
Pernikahan kami berlangsung satu tahun tanpa anak. Memang singkat. Tapi dengan rasa bersalah tak dapat melayani suami, aku minta berpisah. Ditambah lagi memang aku yang selau sibuk di luar melebihi kesibukan suamiku sendiri. Aku saat itu sangat egois tak memikirkan hubungan serius kami. Maafkan aku suamiku.
Selang setahun, Romi menikah lagi. Tentunya dengan wanita yang dapat melayaninya dengan baik. Aku tau perempuan ini adalah sekretaris redaksi di sebuah majalah dan mungkin karena naluri sekretarisnya lah yang membuat ia lebih telaten mengurusi rumah tangga ketimbang aku. Sedang aku sibuk mengurusi liputan dan reportasi lapangan saja tanpa hiraukan pria bersuku batak yang sama sekali tak keras dengan istrinya ini.
Aku bertemu lagi dengan Romi. Di sebuah pelatihan jurnalistik di pulau Dewata. Kami berdua sama-sama pemateri saat itu. Di akhir acara, Romi serius ingin bersatu dengan ku lagi. Aku pun yang saat itu tak bisa melupakannya mantap mengatakan ‘iya’ walau harus menjadi madu atas izin istri pertamanya. Pernikahan kedua kali dengan orang yang sama membuat aku belajar. Belajar mengatur hidupku. Aku terima semua yang pernah dan sedang terjadi. Aku mulai menyusun komitmen dan rencana walau tidak lagi berdua tetapi bertiga. Ya, aku rasa saat ini lebih baik, walau tetap aku masih haus untuk bersamanya lebih lama. Suamiku, arahkan aku.